Selasa, 04 Januari 2011

keraton di surakarta

PENDAHULUAN

Indonesia banyak sekali "menyimpan" bangunan kuno dan benda-benda purbakala (heritage) berupa peninggalan yang bersejarah sebagai warisan dari nenek moyang kita. Heritage berupa bangunan banyak sekali bertebaran di tanah air. Keberadaan benda-benda bersejarah tersebut tidak terlepas dari perjalanan sejarah. Meskipun wujudnya kini tidak seindah dan semegah dulu lagi, tetapi obyek-obyek tersebut layak untuk dikenal. Bangunan-bangunan tersebut saat ini ada yang sedang direnovasi, ada yang direkonstruksi dan ada yang direvitalisasi.
Banyak juga gedung bersejarah yang menjadi cagar budaya ini tergusur oleh bangunan komersial. Satu persatu bangunan bersejarah tersebut hilang dan berubah fungsi, ada yang berubah menjadi kompleks pertokoan, apartemen dan perumahan mewah. Padahal bangunan-bangunan yang punah tersebut mempunyai nilai arsitektur yang tinggi, di samping nilai historis yang tinggi. Hal ini menandakan kesadaran masyarakat akan arti penting benda-benda bersejarah masih kurang di samping kebijakan yang tidak tepat. Tumbuhnya kesadaran diri untuk menjaga dan mempelajari benda bersejarah dengan arsitektur yang tinggi ini akan membuat kita dapat lebih memahami budaya para pendahulu untuk kepentingan masa depan. Biasanya, bangunan-bangunan tua tersebut berada di kawasan yang dinamakan kota lama. Mungkin nama tersebut mengacu pada bangunan-bangunannya yang berumur tua dan mempunyai sejarah yang panjang.



BAB I
KRATON KASUNANAN SURAKARTA
Kota Solo atau Kota Surakarta adalah kota kuno yang dibangun oleh Paku Buwana II. Riwayat kota ini tidak bisa lepas dari sejarah Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang merupakan penerus trah Kerajaan Mataram Islam yang dibangun oleh Panembahan Senopati. Keraton Mataram Islam memang beberapa kali berpindah tempat, pertama dari Keraton Kotagede (Kota Yogyakarta) berpindah ke Keraton Plered (Kab. Bantul) pada masa Amangkurat I, kemudian pada masa Amangkurat II berpindah ke Keraton Kartasura (Kab. Sukoharjo) karena Keraton Plered rusak akibat pemberontakan Trunojoyo. Keraton Kartasura digunakan oleh Amangkurat II hingga masa Paku Buwana II (antara tahun 1680—1742 Masehi) (http://id.wikipedia.org).
Pada masa pemerintahan Paku Buwana II, terjadi peristiwa “Geger Pecinan”, yaitu pemberontakan laskar-laskar Cina yang didukung oleh beberapa pangeran dan kerabat raja. Menurut www.kratonsurakarta.com, pemberontakan ini dimulai sejak 1740 ketika VOC memberlakukan kebijakan untuk mengurangi jumlah orang Cina di Batavia, sehingga banyak orang Cina yang mengungsi ke wilayah Jawa Tengah dan membentuk laskar-laskar perlawanan. Pelarian laskar-laskar Cina tersebut ternyata mendapat dukungan dari para bupati di wilayah pesisir. Secara diam-diam, Paku Buwana II juga mendukung gerakan perlawanan laskar Cina terhadap VOC ini melalui patih kerajaan, yaitu Adipati Natakusuma. Tujuannya untuk memukul mundur kekuasaan VOC di wilayah kekuasaan Mataram Kartasura. Namun, melihat Kota Semarang yang menjadi pusat VOC di Timur Batavia tidak kunjung jatuh ke tangan orang-orang Cina, Paku Buwana II menarik dukungannya dan kembali memihak VOC untuk memerangi perlawanan laskar Cina. Untuk menutupi kecurigaan VOC, Susuhunan (artinya ‘yang disembah‘, sebutan untuk Raja) menangkap Adipati Natakusuma yang akhirnya dihukum buang ke Sailon (Srilanka). Akan tetapi, ternyata kekuatan pasukan Cina tidak berangsur surut, melainkan tambah kuat dengan dukungan Bupati Pati, Bupati Grobogan, dan beberapa kerabat raja. Bahkan laskar Cina ini mampu mengangkat Mas Garendi (cucu Amangkurat III) sebagai penguasa yang baru atas kerajaan Mataram Kartasura dengan gelar Sunan Kuning (yang bermakna raja yang didukung oleh orang Cina).
Pada tahun 1742, pihak kerajaan makin terdesak, sehingga Raja, kerabat, dan pengikutnya yang masih setia harus mengungsi ke Ponorogo, Jawa Timur. Para pemberontak berhasil menduduki dan merusak bangunan Keraton Kartasura. Pemberontakan baru dapat dipadamkan setelah Paku Buwana II dibantu pasukan VOC menyerbu laskar Cina (http://id.wikipedia.org). Meskipun kembali bertahta, namun Susuhunan merasa pusat kerajaan di Keraton Kartasura tidak layak lagi untuk ditempati. Sebab, menurut kepercayaan Jawa, keraton yang sudah rusak telah kehilangan “wahyu”. Oleh sebab itu, maka Susuhunan kemudian menugaskan Adipati Pringgalaya, Adipati Sindureja, Mayor Higendorp, serta beberapa ahli nujum seperti Tumenggung Hanggawangsa, Mangkuyuda, serta Puspanegara untuk mencari lokasibaru(www.kratonsurakarta.com).https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEicyRhyt497zTwzyAO2nTamJQS640mYYHrnZya6HO6X0bIGJztgmZJnOVpZq-QkR8YykWpO34grdW4eLEFJbkaTDTPOVUfGlzXyO_MW5xFdf4oKqAYjCpn4iFnRYEksIyB8pvDcVIKrrRk/s400/ob-mei-22-kraton-suraka-1.jpg
Halaman Keraton Surakarta Hadiningrat
Setelah melalui berbagai pertimbangan, maka Desa Solo ditetapkan sebagai lokasi baru untuk menggantikan Keraton Kartasura. Pembangunan keraton dilakukan dari tahun 1743 hingga 1745. Konstruksi bangunan keraton menggunakan bahan kayu jati yang diperoleh dari Alas Kethu di dekat Kota Wonogiri. Yang menarik, salah satu arsitek pembangunan keraton ini adalah Pangeran Mangkubumi, kerabat Susuhunan yang kelak memberontak dan berhasil mendirikan Kesultanan Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengku Buwana I. Sehingga tidak mengherankan jika bangunan Keraton Yogyakarta memiliki banyak kemiripan dengan Keraton Surakarta. Setelah pembangunan selesai, keraton baru yang diberi nama Keraton Surakarta Hadiningrat tersebut resmi digunakan oleh raja pada tanggal 17 Februari 1745 (atau Rabu Pahing 14 Sura 1670 Penanggalan Jawa, Wuku Landep, Windu Sancaya) (http://id.wikipedia.org).
Keraton Surakarta yang dapat dilihat sekarang bukan bentuk asli dari bangunan awal pada masa Paku Buwana II. Secara bertahap, bangunan keraton telah beberapa kali mengalami renovasi meskipun tetap mempertahankan pola dasar tata ruang aslinya. Renovasi secara besar-besaran dilakukan pada masa Paku Buwana X yang bertahta antara 1893—1939. Dalam renovasi terbesar ini, bangunan keraton mulai mengadopsi gaya bangunan Eropa dengan nuansa warna putih dan biru yang menjadi warna khas kerajaan.
Wisatawan yang ingin menikmati peninggalan sejarah Kerajaan Mataram Surakarta ini diwajibkan untuk mematuhi berbagai peraturan, seperti tidak memakai topi, kacamata hitam, celana pendek, sandal, serta jaket. Bagi wisatawan yang memakai celana pendek, dapat meminjam kain bawahan untuk digunakan selama mengelilingi kawasan keraton.
1.a. Keistimewaan
Mengunjungi Keraton Solo, dari arah depan Anda akan menyaksikan susunan kota lama khas Jawa, yaitu sebuah bangunan keraton yang dikitari oleh Alun-alun, Pasar Klewer, dan Masjid Agung Surakarta. Memasuki bagian depan keraton, wisatawan dapat melihat bangunan yang disebut Sasana Sumewa dan sebuah meriam berbahan perunggu bernama Kiai Rancawara. Bangunan ini dahulu digunakan sebagai tempat Pasewakan Agung, yaitu pertemuan antara Raja dan para bawahannya. Di tempat ini wisatawan masih bisa menyaksikan Dhampar Kencana (singgasana raja) yang terletak di Siti Hinggil Lor (Siti Hinggil bermakna tanah yang ditinggikan sebagai tempat kedudukan raja). Pengunjung dilarang menaiki area ini, sebab tempat tersebut sangat dihormati dan dianggap keramat.


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhWy-1-rusMBo_dFqQhg8GQFLifJEeQ7H-QxROqp26lbNLomNcbS-pgyjaokuoeQ4Zqt_aOH2aBoxhXZ3HkAMkYMPQoO_oNNDGiQZ3WBP6yV46rOQQg_1SlRioaRN_SNE_JUrxHLdE_L8M/s400/ob-mei-22-kraton-suraka-2.jpg
Meriam kiai Rancawara dan lokasi Dhampar Kencana

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjXJdPqcmHw-JK0d4js8Lc17tgEkht-i51sZNsv1NIzXtaUROqgAkyw1wQa9liTkmKgOrMjo8s1G-DP8QWCkGLz3Lhdw1AjqD9j_f1JxEDVHygv7kaJ0q3WtlzBan4Fk295uxNRG6nvVi4/s400/ob-mei-22-kraton-suraka-3.jpgDari Siti Hinggil, wisatawan akan memasuki Kori Renteng dan Kori Mangu (kori bermakna pintu, renteng bermakna pertentangan dalam hati, sementara mangu berarti ragu-ragu). Pada bagian selanjutnya, wisatawan melewati Kori Brojonolo (brojo = senjata, nolo = pikiran). Jadi, mereka yang melewati pintu-pintu ini diminta untuk meneguhkan hati, membuang rasa ragu, dan memantapkan pikiran untuk selalu waspada (http://earief.wordpress.com). Pada bagian selanjutnya, pengunjung akan sampai di pelataran Kamandungan Lor, kemudian Sri Manganti dan akhirnya mengunjungi museum keraton yang bernama Museum Keraton Surakarta Hadiningrat.   






Museum Keraton Surakarta

Di museum ini, wisatawan dapat menyaksikan benda-benda peninggalan Keraton Kasunanan Surakarta serta beberapa fragmen candi yang ditemukan di Jawa Tengah. Pada ruang pertama, pengunjung dapat melihat benda-benda yang pernah digunakan sebagai alat memasak abdi dalem (pembantu raja), seperti dandang, mangkuk, serta beberapa peralatan dari gerabah. Ada juga ruangan yang digunakan untuk memamerkan senjata-senjata kuno, seperti tombak, pedang, meriam, hingga pistol jaman dulu yang digunakan oleh keluarga keraton. Berbagai peralatan kesenian yang biasa ditampilkan di Keraton Surakarta, seperti gamelan dan topeng, juga dipamerkan di museum ini. Koleksi menarik lainnya yang dapat dinikmati adalah kereta kencana, dayung sampan sepanjang 5 meter, serta topi kebesaran Paku Buwana VI, Paku Buwana VII, serta Paku Buwana X. Apabila ingin mengetahui sejarah pembagian Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta berdasarkan Perjanjian Giyanti 1755, wisatawan dapat melihat silsilah para penguasa dan penerus Mataram Islam yang berpuncak pada Panembahan Senopati, raja pertama Mataram Islam.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgSigwklSs5FpDhkvaqja-sUFIvZKNbDzcQcvJhzNYIDs2qQKm-YyYWS5bgHV_p5d4NI8zSb3w-zxQREm-IPpGWUGwCnUlwaMNLT0WuWqUH9sNe2I_YupzWiVE2RH1cO4UeLeAAag7eINQ/s400/ob-mei-22-kraton-suraka-4.jpg
Koleksi-koleksi Museum Keraton Surakarta

Setelah puas menimba pengetahuan sejarah di Museum Keraton Surakarta, wisatawan bisa beranjak menuju Sasana Sewaka yang berada di samping museum. Pada halaman Sasana Sewaka yang dihiasi oleh pohon sawo kecik, wisatawan diharuskan melepas alas kaki untuk berjalan di hamparan pasir halus yang diambil dari Gunung Merapi dan pantai Parangkusumo. Di lingkungan Sasana Sewaka ini, wisatawan dilarang mengambil atau membawa pasir halus yang terdapat di tempat tersebut.
Di kawasan ini juga terdapat sebuah menara yang disebut Panggung Sanggabuwana. Konon, menara tersebut digunakan oleh Susuhunan untuk bersemedi dan bertemu dengan Nyai Rara Kidul, penguasa Pantai Selatan. Selain sebagai tempat semedi, Panggung Sanggabuwana sebetulnya juga berfungsi sebagai menara pertahanan, yaitu untuk mengontrol keadaan di sekeliling keraton. Keraton Kasunanan Surakarta memiliki luas sekitar 500 meter X 700 meter yang dikelilingi oleh dinding pertahanan (benteng) yang disebut Baluarti. Dinding tersebut mengelilingi keraton setinggi 3 hingga 5 meter, tebal sekitar 1 meter, dengan bentuk persegi panjang.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhbzV8yHHD3BMOBco-H8gT9HnsQoXg9k6b6n5daXevYflliIztXbHgFFHoosmZROyFFOAxpHApmZB0noXbOvImYE9kIhBorURynvT83ZpluOrR8bk8TDLrsvNOQu1P2FCOn_VG3bXAEYag/s400/ob-mei-22-kraton-suraka-5.jpg
Panggung Sanggabuwana
c. Lokasi
Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat terletak di Pusat Kota Solo, yaitu di Kelurahan Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia.
d. Akses
Kota Solo merupakan kota perlintasan Yogyakarta—Surabaya. Dari Yogyakarta, Solo terletak sekitar 65 kilometer arah Timur, sementara dari Surabaya, Kota Solo terletak sekitar 285 kilometer arah Barat. Dari kota besar lainnya, yaitu dari Semarang, Solo terletak sekitar 100 kilometer arah Tenggara. Untuk menuju Kota Solo, wisatawan dapat memanfaatkan transportasi udara mendarat di Bandar Udara Adi Sumarmo, Solo, atau menggunakan jasa bus dan kereta menuju Terminal Tirtonadi dan Stasiun Balapan Solo. Dari Bandara, terminal, maupun stasiun, wisatawan dapat memanfaatkan bus kota, angkot, taksi, maupun andong untuk menuju ke pusat kota mengunjungi Keraton Surakarta.
e. Harga Tiket
Wisatawan yang hendak berkunjung ke Keraton Surakarta dikenai biaya tiket sebesar Rp4.000,00 per orang. Jika membawa kamera, dikenakan tiket tambahan sebesar Rp2.000,00. Keraton Surakarta melayani kunjungan wisatawan setiap Senin hingga kamis pada pukul 09.00—14.00 WIB. Pada hari Sabtu dan Minggu pukul 09.00—15.00 WIB. Sementara hari Jumat tutup.
Apabila wisatawan berminat mengunjungi Museum Keraton Surakarta yang berada di dalam kompleks keraton, wisatawan akan dikenakan tiket tambahan, yaitu Rp4.000,00 untuk wisatawan domestik, dan Rp8.000,00 untuk wisatawan mancanegara. Untuk izin memotret, dikenakan tiket sebesar Rp2.000,00 untuk tiap kamera. Bagi pengunjung yang datang berombongan akan dikenai potongan tiket sebesar Rp500,00 per orang. Museum ini buka pada hari Senin hingga Kami pukul 09.00—14.00 WIB, Sabtu hingga Minggu pukul 09.00—15.00 WIB, sedangkan pada hari Jumat tutup.
f. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Kawasan keraton telah dilengkapi dengan berbagai fasilitas yang diperuntukkan bagi wisatawan, seperti pemandu wisata, peminjaman pakaian khas Jawa, brosur wisata, serta toilet. Untuk keperluan Shalat, wisatawan dapat memanfaatkan Masjid Agung Surakarta yang terletak tidak jauh di depan keraton. Mengunjungi ini tentu belum lengkap jika tidak berbelanja baju batik atau benda-benda seni sebagai cenderamata yang dijual di sekitar keraton. Untuk memburu koleksi baju batik yang lebih lengkap, wisatawan dapat berjalan kaki menuju Pasar Klewer yang berjarak sekitar 200 meter dari Keraton Surakarta.
Sebagai sebuah kota transit yang berkembang pesat, Kota Surakarta juga telah memiliki berbagai fasilitas penginapan berupa hotel melati maupun hotel berbintang. Di kota ini juga tidak sulit untuk mencari rumah makan yang menyajikan menu masakan khas Solo, maupun menu makanan internasional.
PURA MANGKUNEGARAN
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/1/1e/Pura_Mangkunagaran01%282_Maret_2007%29.jpg/220px-Pura_Mangkunagaran01%282_Maret_2007%29.jpg
Bagian depan Pura Mangkunegaran
Pura (Puro) Mangkunegaran adalah istana tempat kediaman Sri Paduka Mangkunagara di Surakarta dan dibangun setelah tahun 1757 dengan mengikuti model keraton yang lebih kecil.
Secara arsitektur bangunan ini memiliki ciri yang sama dengan keraton, yaitu pada pamedan, pendopo, pringgitan, dalem, dan kaputran, yang seluruhnya dikelilingi oleh tembok yang kokoh.
Pura ini dibangun setelah Perjanjian Salatiga yang mengawali pendirian Praja Mangkunegaran dan dua tahun setelah dilaksanakannya Perjanjian Giyanti yang isinya membagi pemerintahan Jawa menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakartaoleh VOC (Kumpeni) pada tahun 1755. Kerajaan Surakarta terpisah setelah Pangeran Raden Mas Said terus memberontak pada VOC (Kumpeni) dan atas dukungan sunan mendirikan kerajaan sendiri tahun 1757. Raden Mas Said memakai gelar Mangkunegoro I dan membangun wilayah kekuasaannya di sebelah barat tepian Sungai Pepe (Kali Pepe) di pusat kota yang sekarang bernama Solo.
Seperti bangunan utama di keraton Surakarta dan keraton Yogyakarta, Puro Mangkunegaran mengalami beberapa perubahan selama puncak masa pemerintahan kolonial Belanda di Jawa Tengah. Perubahan ini tampak pada ciri dekorasi Eropa yang popular saat itu.

A. Bagian-bagian bangunan

A.1 Pamedan

Setelah pintu gerbang utama akan tampak pamedan, yaitu lapangan perlatihan prajurit pasukan Mangkunegaran. Bekas pusat pasukan kuda, gedung kavaleri ada di sebelah timur pamedan. Pintu gerbang kedua menuju halaman dalam tempat tempat berdirinya Pendopo Agung yang berukuran 3.500 meter persegi. Pendopo yang dapat menampung lima sampai sepuluh ribu orang orang ini, selama bertahun-tahun dianggap pendopo yang terbesar di Indonesia. Tiang-tiang kayu berbentuk persegi yang menyangga atap joglo diambil dari pepohonan yang tumbuh di hutan Mangkunegaran di perbukitan Wonogiri. Seluruh bangunan ini didirikan tanpa menggunakan paku. Di pendopo ini terdapat empat set gamelan, satu di gunakan secara rutin dan tiga lainnya digunakan hanya pada upacara khusus.
A..2 Pendhapa
Warna kuning dan hijau yang mendominasi pendopo adalah warna pari anom (padi muda) warna khas keluarga Mangkunegaran. Hiasan langit-langit pendopo yang berwarna terang melambangkan astrologi Hindu-Jawa dan dari langit-langit ini tergantung deretan lampu gantung antik. Pada mulanya orang-orang yang hadir di pendopo duduk bersila di lantai. Kursi baru diperkenalkan pada akhir abad ke-19 waktu pemerintahan Mangkunagara VI.
A.3 Pringgitan
Tempat di belakang pendopo terdapat sebuah beranda terbuka, yang bernama Pringgitan, yang mempunyai tangga menuju Dalem Ageng, sebuah ruangan seluas 1.000 meter persegi, yang secara tradisional merupakan ruang tidur pengantin kerajaan, sekarang berfungsi sebagai museum. Selain memamerkan petanen (tempat persemayaman Dewi Sri) yang berlapiskan tenunan sutera, yang menjadi pusat perhatian pengunjung, museum ini juga memamerkan perhiasan, senjata-senjata, pakaian-pakaian, medali-medali, perlengkapan wayang, uang logam, gambar raja-raja Mangkunegaran dan benda-benda seni.
A.4 Dalem Ageng
Di bagian tengah Puro Mangkunegaran di belakang Dalem Ageng, terdapat tempat kediaman keluarga mangkunegaran. Tempat ini, yang masih memiliki suasana tenang bagaikan di rumah pedesaan milik para bangsawan, sekarang digunakan oleh para keluarga keturunan raja. Taman di bagian dalam yang ditumbuhi pohon-pohon yang berbunga dan semak-semak hias, juga merupakan cagar alam dengan sangkar berisi burung berkicau, patung-patung klasik model Eropa, serta kupu-kupu yang berwarna-warni dengan air pancur yang bergerak-gerak dibawah sinar matahari. Menghadap ke taman terbuka, adalah Beranda Dalem, yang bersudut delapan, dimana terdapat tempat lilin dan perabotan Eropa yang indah. Kaca-kaca berbingkai emas terpasang berjejer di dinding. Dari beranda menuju ke dalam tampak ruang makan dengan jendela kaca berwarna gambar yang berisi pemandangan di Jawa, ruang ganti dan rias para putri raja, serta kamar mandi yang indah.
Sisa peninggalan yang masih tampak jelas pada saat ini adalah perpustakaan yang didirikan pada tahun 1867 oleh Mangkunagara IV. Perpustakaan tersebut terletak dilantai dua, diatas Kantor Dinas Urusan Istana di sebelah kiri pamedan. Perpustakaan yang daun jendela kayunya dibuka lebar-lebar agar sinar matahari dapat masuk, sampai sekarang masih digunakan oleh para sejarahwan dan pelajar. Mereka dapat menemukan manuskrip yang bersampul kulit, buku-buku berbagai bahasa terutama bahasa Jawa, banyak koleksi-koleksi foto yang bersejarah dan data-data mengenai perkebunan dan pemilikan Mangkunegaran yang lain.









Sumber :

















analisis struktur

Analisis Struktural

Satu konsep dasar yang menjadi ciri khas teori struktural adalah adanya anggapan bahwa di dalam dirinya sendiri karya merupakan suatu struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai suatu kesatuan yang bulat dengan unsur- unsur pembangunnya yang saling berjalinan (Rachmat Djoko Pradopo dkk, 1985:6). Oleh karena itu, untuk memahami maknanya, karya sastra harus dikaji berdasarkan strukturnya sendiri, lepas dari latar belakang sejarah, lepas dari diri dan niat pengarang, dan lepas pula dari efeknya pada pembaca. Jadi yang terpenting hanya close reading, pembacaan secara mikroskopi dari karya sebagai ciptaan bahasa (Teeuw, 1984:13)
1.    Tema
Tema merupakan gagasan yang mendasari karya sastra. Tema kadang-kadang didukung oleh pelukisan latar, tersirat di dalam, atau dalam penokohan. Tema sebuah karya sastra adalah pokok masalah yang hendak dibahas oleh pengarang.
2.    Alur
Alur merupakan cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Terdapat beberapa tahapan dalam alur. Menurut Mochtar Lubis secara sederhana dan kronologis, alur dalam sebuah cerita terdiri dari lima bagian, yaitu : Situation (pengarang mulai melukiskan keadaan), Generation circumstances (peristiwa yang bersangkut paut mulai bergerak), Rising action (keadaan mulai bergerak), Climax (peistiwa-peristiwa mencapai klimaks), Denoument (pengarang memberikan pemecahan soal dari semua peristiwa).
3.    Penokohan
Penokohan merupakan suatu proses penampilan tokoh sebagai pembawa peran watak tokoh dalam cerita. Kehadiran tokoh yang berkepribadian dalam karya sangat penting, karena tokoh-tokoh ini merupakan sarana bagi pengarang untuk menjalin peristiwa yang disajikan serta mengarahkan jalannya suatu peristiwa. Tokoh dapat juga berfungsi sebagai pembentuk alur cerita selain itu, tokoh dapat pula digunakan sebagai sarana menyampaikan ide pengarang. Dalam cerita, kadang-kadang seorang tokoh menggugah simpati, kadang pula menimbulkan antipati bagi pembaca.
Sifat   dan   karakteristik   tokoh   dapat   dikategorikan   ke   dalam   tiga dimensional, yaitu :
a.         Dimensi   fisiologis,   yaitu   ciri-ciri   lahir.   Misalnya   usia   (tingkat kedewasaan), jenis kelamin, keadaan tubuh, ciri-ciri muka, dan ciri-ciri badani lainya.
b.        Dimensi sosiologis, yaitu ciri-ciri kehidupan masyarakat, tingkat pendidikan, kehidupan pribadi, pandangan hidup,  agama kepercayaan,    ideologi,  aktivitas  sosial,  hobi,  bangsa,  suku, keturunan.
c.         Dimensi   psikologi,    yaitu    latar   belakang   kejiwaan,    misalnya mentalitas, ukuran moral (membedakan antara yang baik dengan yang tidak baik, antara yang salah dan yang benar, antara yang indah dan tidak indah), temperamen, keinginan dan perasaan pribadi, sikap dan perilaku (Sudiro Satoto, 1996 : 44-45).

4. Latar
Latar atau setting merupakan tempat terjadinya peristiwa-peristiwa atau waktu berlangsungnya tindakan. Jadi, peristiwa-peristiwa itu terjadi dalam latar tempat dan latar waktu.
a.    Latar Tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
b.        Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah "kapan" terjadinya peristiwa yang   diceritakan   dalam   sebuah   cerita.  
c.          Latar Sosial
Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang dibicarakan dalam karya fiksi. la dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan Iain-lain yang tergolong latar spiritual.
1.         Amanat
Amanat berarti pesan. Pesan yang disampaikan pengarang mungkin jelas, tersurat (ekplisit) tetapi mungkin juga tidak jelas, samar-samar tersirat. Tidak  jarang pengarang menyampaikannya secara simbolik dan teknih-teknik lain yang  sulit diketahui pembacanya.

"SERAT TATACARA"


KAJIAN STRUKTURAL KARYA PROSA JAWA
SERAT  TATACARA KARYA KI PADMOSUSASTRA
Diajukan untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Telaah Prosa Jawa
Dosen Pengampu : Prasetyo Adi W.W. S.S. M.Hum


  




Bangun Juliadi                             C0109003
Guntur Yuli Triasmoro               C0109018
Ikhsan Mahendra                        C0109021
M. Rendrawan Setya N               C0109024
Rendra Agusta                             C0109033
Wahyu Sigit Prasetyo I                C0109043
Rogatianus Yogo P                      C0109045


SASTRA DAERAH
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010


Pendahuluan
1.      Latar belakang
Era kapujanggan zaman Surakarta telah melahirkan tokoh-tokoh yang mempunyai karya yang luar biasa. Seperti Yasadipura I, Yasadipura II, Ranggasutrasna dan yang paling terkenal adalah  R.Ng Ranggawarsita. Sesudah itu maka Kraton Surakarta juga mengalami perubahan yang sangat signifikan dalam karya sastra. Salah satunya adalah seorang murid Ranggawarsita bernama Ki Padmosusastra ( 1843 – 1926 ) . Ki Padmasusastra dikenal populer di tengah masyarakat Jawa karena sesantinya yang berbunyi Wong mardika kang marsudi kasusastran Jawa ing Surakarta ‘Orang merdeka yang memelihara kesusasteraan Jawa di Surakarta’. Tulisan-tulisan tentang ketatabahasaannya, seperti Piwulang Nulis, Carakan Basa, Tata Sastra, Layang Paramabasa (1897), Zemenspraken (1900), Serat Carakabasa (1904),  Layang Carakan (1911), Serat Pathibasa (1912),  Warna Sastra (1920), dan lain-lain. Kamus-kamusnya yang terkenal adalah Serat Dasanama Kawi, Serat Campurbawur (1893) (merupakan embrio dari Bauwarna (1898), Layang Bauwarna (1898), Layang Bausastra (1899), Serat Warnabasa (1899), Serat Bausastra Jawa-Kawi (1903). Tulisan-tulisan kebahasaan yang lain seperti, Kawruh Basa, Layang Basa Sala (1891), Serat Urapsari (1895), Layang Belletire (1898), Madubasa (1912) , Warnasari (1925) dan masih banyak artikel-artikel yang ditulis dalam kalawarti yang diterbitkannya. Tulisan-tulisannya yang berkaitan dengan bahasa sangat mewarnai terbitan-terbitan ulang karya orang lain seperti Serat Pustakaraja Purwa, karya Ranggawarsita yang diterbitkan oleh N. V. Voork H. Buning (1910); Wira Iswara, Serat Wedhamadya keduanya dari penerbit sama, yaitu N. V. Voork H. Buning; Serat Wira Iswara, karya Pakubuwana IX yang diterbitkan Albert Rusche & Co. dan lain-lain.
Salah satu karya beliau adalah serat Tatacara. Serat Tatacara digarap dan dirampungkan selama sebelas tahun (1893-1904). Serat Tatacara berisi tentang uraian tentang budaya, adat-istiadat, upacara tradisi (sejak seorang ibu mengandung, melahirkan, khitan, nikah, sampai kematian), permainan, dan kesenian orang Jawa yang dikemas dalam bentuk cerita. Aplikasi dari cerita itu digambarkan dalam siklus kehidupan manusia mulai dari dalam kandungan, lahir, menikah, sampai meninggal dunia. Buku ini telah diterbitkan oleh Commissie voor de Volkslectuur Jakarta. Buku ini dikutip oleh J. Kats dimasukkan dalam buku "Warna Sari" sebagai bacaan di sekolah para calon guru pada tahun 1929.
Buku itu memiliki prolog kesedihan dan kepasrahan atas realitas dan pengetahuan Jawa: “Dengan perasaan takjub ini seakan-akan dunia sudah dipenuhi oleh pengetahuan, padat, tidak ada tempat yang tersisa. Berpikir sudah menjadi pekerjaan berat, seakan-akan sedang menyibak kabut tebal yang menutupi permukaan bumi, dan saya merasa terdesak keluar seakan-akan tak ada lagi tempat untuk saya.”
Perasaan itu lumrah muncul karena dalam jagat sastra dan pengetahuan Jawa telah dieksplorasi dan diwartakan oleh pujangga-pujangga ampuh masa lalu. Ki Padmasusastra mafhum bahwa deretan panjang khazanah literatur Jawa menjadi bukti sifat kapujanggan yang mengakar dalam kebudayaan Jawa. Ironi dari teks-tek itu adalah ketidaksanggupan orang-orang Jawa untuk memetik hikmah dengan kritis dan implikatif.
Ki Padmasusastra dengan gamblang memberi kritik bahwa ketidaksanggupan atau ketidakmauan itu karena orang-orang Jawa tidak memiliki cara untuk membaca, memahami, dan merealisasikan. Orang-orang Jawa sekadar khusuk dalam kekaguman atas khazanah Jawa. Ki Padmasusastra mengungkapkan bahwa hikmah khazanah literatur Jawa itu malah “dipetik dan disebarkan lagi oleh sarjana-sarjana Eropa, pengetahuan ini tumbuh lagi dengan lebih subur, mengisi dunia.” Fakta ini membuat Ki Padmasusastra sadar atas konstruksi Jawa yang dengan terbuka bisa dilakukan oleh sarjana-sarjana Eropa sebagai tandingan atas pemahaman orang-orang Jawa terhadap Jawa sebagai kultur dan pengetahuan.

2.      Rumusan masalah
Dari Serat Tatacara maka dapat ditarik  permasalahan yakni bagaimana Unsur Instrinsik Serat Tatacara ?

3.      Tujuan penulisan
Tujuan dari penulisan penelitian ini adalah mengetahui Unsur Instrinsik Serat Tatacara.

4.      Landasan Teori
Teori  Struktural
            Satu konsep dasar yang menjadi ciri khas teori struktural adalah adanya anggapan bahwa di dalam dirinya sendiri karya merupakan suatu struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai suatu kesatuan yang bulat dengan unsur- unsur pembangunnya yang saling berjalinan (Rachmat Djoko Pradopo dkk, 1985:6). Oleh karena itu, untuk memahami maknanya, karya sastra harus dikaji berdasarkan strukturnya sendiri, lepas dari latar belakang sejarah, lepas dari diri dan niat pengarang, dan lepas pula dari efeknya pada pembaca. Jadi yang terpenting hanya close reading, pembacaan secara mikroskopi dari karya sebagai ciptaan bahasa (Teeuw, 1984:13)
a)   Tema
Tema merupakan gagasan yang mendasari karya sastra. Tema kadang-kadang didukung oleh pelukisan latar, tersirat di dalam, atau dalam penokohan. Tema sebuah karya sastra adalah pokok masalah yang hendak dibahas oleh pengarang.
b)   Alur
Alur merupakan cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Terdapat beberapa tahapan dalam alur. Menurut Mochtar Lubis secara sederhana dan kronologis, alur dalam sebuah cerita terdiri dari lima bagian, yaitu : Situation (pengarang mulai melukiskan keadaan), Generation circumstances (peristiwa yang bersangkut paut mulai bergerak), Rising action (keadaan mulai bergerak), Climax (peistiwa-peristiwa mencapai klimaks), Denoument (pengarang memberikan pemecahan soal dari semua peristiwa).
c)    Penokohan
Penokohan merupakan suatu proses penampilan tokoh sebagai pembawa peran watak tokoh dalam cerita. Kehadiran tokoh yang berkepribadian dalam karya sangat penting, karena tokoh-tokoh ini merupakan sarana bagi pengarang untuk menjalin peristiwa yang disajikan serta mengarahkan jalannya suatu peristiwa. Tokoh dapat juga berfungsi sebagai pembentuk alur cerita selain itu, tokoh dapat pula digunakan sebagai sarana menyampaikan ide pengarang. Dalam cerita, kadang-kadang seorang tokoh menggugah simpati, kadang pula menimbulkan antipati bagi pembaca.
Sifat   dan   karakteristik   tokoh   dapat   dikategorikan   ke   dalam   tiga dimensional, yaitu :
a.         Dimensi   fisiologis,   yaitu   ciri-ciri   lahir.   Misalnya   usia   (tingkat kedewasaan), jenis kelamin, keadaan tubuh, ciri-ciri muka, dan ciri-ciri badani lainya.
b.        Dimensi sosiologis, yaitu ciri-ciri kehidupan masyarakat, tingkat pendidikan, kehidupan pribadi, pandangan hidup,  agama kepercayaan,    ideologi,  aktivitas  sosial,  hobi,  bangsa,  suku, keturunan.
c.         Dimensi   psikologi,    yaitu    latar   belakang   kejiwaan,    misalnya mentalitas, ukuran moral (membedakan antara yang baik dengan yang tidak baik, antara yang salah dan yang benar, antara yang indah dan tidak indah), temperamen, keinginan dan perasaan pribadi, sikap dan perilaku (Sudiro Satoto, 1996 : 44-45).
d)            Latar
Latar atau setting merupakan tempat terjadinya peristiwa-peristiwa atau waktu berlangsungnya tindakan. Jadi, peristiwa-peristiwa itu terjadi dalam latar tempat dan latar waktu.
a.    Latar Tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
b.         Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah "kapan" terjadinya peristiwa yang   diceritakan   dalam   sebuah   cerita.  
c.           Latar Sosial
Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang dibicarakan dalam karya fiksi. la dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan Iain-lain yang tergolong latar spiritual.
e)              Amanat
Amanat berarti pesan. Pesan yang disampaikan pengarang mungkin jelas, tersurat (ekplisit) tetapi mungkin juga tidak jelas, samar-samar tersirat. Tidak  jarang pengarang menyampaikannya secara simbolik dan teknik-teknik lain yang  sulit diketahui pembacanya.




Pembahasan
       I.            Sinopsis
1.      Meteng
Dialog : Nyai Ajeng dan raden nganten
Berbicara tentang orang hamil, nyidham, jamu untuk orang hamil dan pantangan orang hamil.
2.      Singgah-singgah
Dialog : Nyai ajeng dan raden nganten
Berbicara tentang tembang untuk menjauhkan dari malapetaka berupatembang pangkur. Juga berbicara tentang perbandingan orang hamil pertama dengan kehamilan berikutnya.
3.      Wilujengan meteng
Dialog : Raden nganten, Tangkilan
Berbicara tentang tata upacara selametan untuk orang hamil mulai bulan pertama sampai bulan ke sembilan berikut dengan rinciannya.
4.      Tingkeban
Berbicara tentang kehamilan tujuh bulan,  upacara, dan perlengkapan upacara.
5.      Sajen
Berbicara tentang sesajian dan perlengkapannya.
6.      Ingon
Berbicara tentang menumakanan yang dihidangkan untuk niyaga dan dhalang.
7.      Nyakiti dumugi manak, Adan, Komat
Dialog : Tangkilan, R Nganten, sasak, gembur, Nyai ajeng,bendhung,mas Ayu,Sandilata, ladreg, Reksa karya, Riwug, Karya Boga
Berbicara tentang keadaan sebelum melahirkan sampai kelahiran si bayi dengan tata caranya.
8.      Sarap-sawan
Berbicara tentang jenis lelembut yang mengganggu bayi dan sedulur papat lima pancer.
9.      Kidungan
Berbicara tentang tembang untuk menolak bala agar terhindar dari malapetaka yang berupa tembang dhandhanggula.
10.  Pujian
Dialog : Mbok sandilata, dan raden nganten
Berbicara tentang penguburan ari- ari bayi dan pujian yang mengiringinya.
11.  Bayi puput kapangku
Dialog : nyai ajeng, jaka karya, sasak, tangkilan, karya boga
Berbicara tentang adat memangku bayi agar terhindar dari sawan yang dilakukan oleh tetua keluarga dilanjutkan pemberian nama kepada bayi.
12.  Ulem jagong gadhah anak
Dialog ; tangkilan, sastra ubaya, sasak, bendhung.
Berbicara tentang pembuatan ulem dalam acara jagongan bayi.

13.  Manggihi tamu dhateng
Dialog ; tangkilan, tamu
Berbicara tentang etika menyambut tamu.
14.  Bibaran jagong sapeken
Dialog:nyai ajeng, karyaboga,sasak,mas ayu
Berbicra tentang upacara selamatan setelah perayaan kelahiran bayi.
15.  Bayi umur selapan
Dialog:raden nganten,nyai ajeng,karyaboga,riwug,tangkilan,sedhet
Berbicara tentang upacara selamatan saat bayi berumur selapan hari atau 35 hari berikut perlengkapannya.
16.  Mudhun lemah
Dialog:paribayungan,tangkilan,raden nganten,karya boga,sedhet,mas ayu,nyai ajeng,jaya nimpuna
Berbicara tentang upacara tedhak siti dan perlengkapannya.
17.  Nyatauni
Dialog:raden nganten,karyaboga
Berbicara tentang upacara selamatan untuk bayi berumur satu tahun dan perlengkapannya.
18.  Nyapih
Dialog:raden nganten,nyai ajeng,jagakarsa,mas ayu,karya boga
Berbicara tentang tata cara “menyapih” atau bayi tidak diberi ASI lagi berikut dengan ramuan untuk hal tersebut.
19.  Tumbuk 33 taun
Dialog:raden nganten,tangkilan
Berbicara tentang kelahiran adik radeb ngabei suwarna yang diberi nama rara suwarni
20.  Rembagan tumbas betah
Dialog:raden nganten,karya boga,
Berbicara tentang pembelian barang-barang pemenuh kebutuhan pokok
21.  Rembagan tumbas sinjang
Dialog:raden nganten,jaka karsa
Berbicara tentang pembelian kain jarik.
22.  Ulem tumbukan
Dialog:tangkilan,sastra ubaya
Berbicara tentang pembuatan serat ulem untuk acara ulang taung yang ke 33
23.  Metang wragad
Dialog:tangkilan,jaya nimpuna
Berbicara tentang perhitungan dana untuk pembiayaan acara perayaan ulang taun ke 33
24.  Tumbas wowohan
Dialog:karya boga,taru pala
Berbicara tentang tawar-menawar pembelian sayuran dan buah-buahan


25.  Tumbas ulam maesa
Dialog:karya boga,banjarsari
Berbicara tentang tawar-menawar ikan dan daging sapi.
26.  Tumbas kuwih-kuwih
Dialog:karya boga,seli
Berbicara tentang makanan ringan
27.  Tumbas sayuran
Dialog:karya boga,roda mala
Berbicara tentang pembelian sayuran
28.  Tumbas bumbu
Dialog:karya boga,daya rasa
Berbicara tentang pembelian bumbu makanan
29.  Ngundang dhukun nyunati
Dialog:jaga karsa,waga prana
Berbicara tentang mengundang mantri khitan
30.  Tumbas sinjang sekaran
Dialog:jaga karsa,karya puspa
Berbicara tentang tawar-menawar pembelian kain jarik bermotif bunga
31.  Tumbas sinjang lurik
Dialog:jaga karsa,randha semaya
Berbicara tentang tawar-menawar pembelian kain jarik bermotif lurik
32.  Tumbas sembagi
Dialog: jaga karya,sing siu
Berbicara tentang pembelian sembagi
33.  Tumbas sinjang bathik
Dialog:jaga karsa,karya wastra
Berbicara tentang pembelian kain batik
34.  Tumbas minuman
Dialog:tangkilan,boja prasita,C.van Bronkhost
Berbicara tentang pembelian minuman
35.  Berah mbekta minuman
Dialog:jaya nimpuna,bau karya
Bercerita tentang buruh untuk membawa barang belanjaan
36.  Tumbas gendhis teh
Dialog:jaya nimpuna,tyang sing
Berbicara tentang pembelian gula dan teh
37.  Ngundang niyaga
Dialog:jaya nimpuna,mi ling
Berbicara tentang mengundang kelompok karawitan,sinden dan penari serta dalang.
38.  Ngunjuk bikak kemah
Dialog:tangkilan dan tamu
Berbicara tentang etika menghidangkan minuman

39.  Pradikaning minum
Dialog:tamu,praba kesa,sastra jendra,tangkilan
Berbicara tentang sanepan atau gambaran orang yang sedang mabuk
40.  Lenggah dhahar
Dialog:tangkilan,tamu
Berbicara tentang etika menghidangkan makanan
41.  Kondhisi
Dialog:tamu dan tangkilan
Berbicara tentang kondisi perayaan.
42.  Tayuban
Dialog: tangkilan dan tamu
Berbicara tentang seni tayub
43.  Sunatan
Dialog:raden nganten,jaka karya,jaga karsa
Berbicara tentang khitanan rara suwarni
44.  Pasah
Dialog:tangkilan,raden nganten,jaga karsa,denta winangun
Berbicara tentang perhutungan waktu yang tepat untuk khitanan
45.  Santri panaraga
Dialog:tangkilan,raden nganten
Berbicara tentang rencana mendaftarkan raden suwarna dan rara suwarni dipondok pesantren ponorogo.
46.  Sukeran
Dialog:raden nganten,tangkilan,jaka karya
Berbicara tentang masa menstruasi pertama rara suwarni
47.  Tetakan
Dialog: tangkilan,jaya nimpuna
Berbicara tentang khitanan raden bagus suwarna
48.  Ulem tetakan
Dialog:tangkilan,sastra ubaya
Berbicara tentang pembuatan surat ulem untuk acara khitanan raden suwarna
49.  Agem-ageman jagong
Berbicara tentang busana yang dipakai saat khitanan
50.  Krobongan tetakan
Dialog:tangkilan dan baukarya
Berbicara tentang pembuatan tempat khusus untuk khitan
51.  Ngemah-emahaken anak
Berbicara tentang tata cara dan perlengkapannya pernikahan anak
52.  Manah jodhoning anak
Dialog:tangkilan,raden nganten
Berbicara tentang prediksi pasangan anak



53.  Tangkilan kalihan congkok
Dialog:tangkilan dan madhang japlak
Berbicara tentang dialog antara keduanya membahas pengiriman utusan kepada calon pasangan sang anak
54.  Demang malang kalihan bojonipun
Dialog:raden demang malang,mas ajeng
Berbicara tentang rencana pernikahan anak-anaknya.
55.  Dalang malang kalihan congkok
Dialog:panakawan,demang malang,
Berbicara tentang percakapan kyai demang malang yang utusan dari tangkilan.
56.  Ngaben sawung
Dialog:panakawan, mugen, botoh, mandangjaplak,
Bercerita tentang sabung ayam
57.  Pangeran kalihan congkok
Dialog : pangeran dandungmertengsari, mandangjaplak,
Bercerita tentang rencana pernikahan putra pangeran dandung mertengsari dengan putra raden tangkilan yang diwakili oleh congkok mandangjaplak.
58.  Tangkolan kalihan congkok
Dialog : tangkilan, mandang japlak, mugen, raden nganten.
Berisi tentang pembicaraan antara raden tangkilan dan dua utusannya.
59.  Pangeran kalihan tangkilan
Dialog : tangkilan, suwarna, mandangjaplak, dandungmertengsari, panakawan.
Berisi tentang pembicaraan mengenai penitipan anak dari raden tangkilan untuk belajar.
60.  Pangeran tangkilan suwarna
Dialog : pangeran gandhung ,suwarna
Berisi tentang jenis tari dan jenis tembang.
61.  Tingalan dalem pawukon
Dialog : gandek, kanjeng raden adipati.
Berisi tentang mengangkat gandek menjadi tim doa kerajaan.
62.  Tangilan dalem wiyosan
Dialog : raden adipati, sultan.
Berisi tentang etika menghadap raja.
63.  Tingalan dalem panjenengan
Dialog : raden adipati, sultan.
Berisi tentang etika menghadap raja.
64.  Kulawisudan pangeran putra
Dialog : raden mas surati
Bercerita tentang pengangkatan raden mas surati sebagai putra pangeran.
65.  Kulawisudan pangeran santana
Dialog : raden adipati, raden mas lamun.
Mengangkat raden adipati menjadi pangeran sentana.


66.  Kalawisudhan wadana kliwon santana
Dialog : raden adipati, raden mas salatun.
Berisi tentang pengangkatan raden mas salatun menjadi raden mas ngabehi yosodipuro sebagai wadana kliwon.
67.  Kalawisudhan wadana kaliwon kawula
Dialog : raden adipati, raden ngabehi wongsonegara
Berisi tentang pengangkatan raden ngabehi wongsonegara menjadi wedana kliwon kawula.
68.  Senen-kemis setu marang paresidhen
Berisi tentang pertemuan dikarisidenan.
69.  Maringake nawala marang kanjeng raden adipati
Dialog : radeb adipati, pangeran.
Berisi tentang penyerahan surat kepad kanjeng raden adipati.
70.  Nawala marang ngayogjakarta
Dialog : raden adipati danureja, raden adipati sasra diningrat.
Berisi penyerahan surat dari keraton surakarta ke keratin jogjakarta.
71.  Nontoni
Dialog : demang malang, mugen, mas ajeng, tangkilan, raden nganten, sastra rupa.
Berisi pertemuan antara keluarga raden demang malang dan tangkilanyang membahas tentang pernikahan antara raden rara suwarni dan raden mas sarjana.
72.  Serat panglamar
Dialog : mugen, sastra rupa, demang malang, tangkilan, raden nganten, satra ubaya.
Menceritakan  tentang serat raden lamaran raden tangkilan diterima oleh demang malang.
73.  Ningseti
Dialog : demang malang, mugen, tangkilan, talang karsa, mbok mas.
Menceritakan tentang pertunangan raden rara suwarni dengan raden mas suwarna.
74.  Pangeran kalihan congkok
Dialog : dandung mertengsari, mandang japlak.
Pembicaraan pangeran dandung dengan utusan mengenai raden bagus suwarna.
75.  Tangkilan kalihan congkok
Dialog : tangkilan, mandang japlak.
Membicarakan tentang rencana pernikahan raden ayu mulat.
76.  Serat panglamar
Dialog : tangkilan, sastra ubaya.
Tentang pembuatan surat lamaran pada pangeran dandung untuk melamar raden ayu mulat.
77.  Ulem gadhah damel mantu
Dialog : tangkilan, sastro ubaya.
Bercerita tentang pembuatan surat undangan pernikahan Raden Bagus suwarna dengan Raden Ajeng Mulat.
78.  Tarub
Dialog : Tangkilan, Raden nganten
Bercerita percakapan tentang persyaratan dan perlengkapan orang yang ingin mengadakan hajat pernikahan
79.  Lamaran
Dialog : demang malam, mas ajeng, tamu
Bercerita tentang lamaran demang malang kepada Tangkilan.
80.  Nyantri
Dialog : tamu, punakawan, demang malang.
Bercerita tentang demang malang memilih masyarakat  yang akan diajak iring-iringan pengantin.
81.  Sanggan pengantin
Dialog : tangkilan dan raden nganten
Bercerita tentang barabg-barabg yang wajib disiapkan oleh pengantin putri.
82.  Nikah
Berisi tentang pernikahan Raden Bagus Sarjana dengan Raden Rara Suwarni.
83.  Kutbah
Dialog : penghulu.
Berisi tentang kutbah untuk pengantin.
84.  Donga
Dialog : Penghulu dan pengantin
Berisi tentang doa.
85.  Panggih
Dialog : penganten, raden nganten, para nyai.
Berisi tentang acara pernikahan waktu bertemu bertemunya pengantin.
86.  Kondisi
Berisi tentang keadaan perayaan pernikahan.
87.  Tiang ngajal
Dialog : Tangkilan, raden nganten, punakawan, amat semangi, ngulama, jaya lumaksa, jaya pakiringan, jaya puspita, reksa tani, nara karya
Berisi Raden sasak meninggal, kemudian penguburan dan perlengkapan tata upacara pemakamannya.
88.  Ngijing
Dialog : tangkilan, jayapuspita
Bercerita tentang harga bahan- bahan kijing.
89.  Mayit Islam
Dialog : tangkilan dan jayapuspita
Berisi tentang tata cara pemakaman cara Islam.
90.  Ngedusi mayit
Berisi tentang doa- doa pemandian sang mayat dan cara memandikan sang mayat.
91.  Ngulesi Mayit
Berisi tentang cara untuk memocong mayat.
92.  Nyembahyangaken mayit
Berisi tentang tata cara menyolatkan mayat disertai dengan doa- doanya.
93.  Mendhem Mayit
Berisi tentang tata cara dalam menguburkan mayat ke dalam liang kubur.
94.  Talkin
Bercerita tentang doa-doa mentalkinkan sang mayat.
95.  Wilujenganipun tiyang pejah
Berisi tentang hari- hari slametan untuk mendoakan orang yang sudah meninggal. Terdiri dari “ nelung dina, mitung dinani, matang puluh dinani, nyatusi, pendhak pisan, pendhak pindho, dan nyewu”.

Secara singkat serat Tatacara bercerita tentang Keluarga R.M.Ng Sasak, yang mempunyai menantu yang sedang hamil, bernama Raden Nganten istri dari putranya yang bernama R.M.Ng Tangkilan. Kemudian Raden Nganten mempunyai dua anak yang bernama R. Bagus Suwarna dan R. Rara Suwarni. Mulai dari kelahiran sampai masa remaja mereka melalui tahap demi tahap dengan berbagai macam tata cara.

Kemudian Raden Bagus Suwarna menikah dengan Raden ajeng Mulat, putri dari Pangeran Dhandhung Martengsari. Lalu Raden rara Suwarni menikah dengan Raden Bagus Sarjana Putra Demang malang. Mereka melewati masa gembira dengan perayaan pernikahan mereka mulai dari pengiriman utusan, tunangan sampai pernikahannya.

Bagian akhir dari Serat Tatacara bercerita tentang wafatnya R.M.Ng Sasak dengan berbagai tatacaranya.

    II.            Unsur Instrinsik Serat Tatacara
a)                  Tema
          Tema merupakan gagasan yang mendasari karya sastra. Tema kadang-kadang didukung oleh pelukisan latar, tersirat di dalam, atau dalam penokohan. Tema sebuah karya sastra adalah pokok masalah yang hendak dibahas oleh pengarang. Serat Tatacara ini bertemakan tentang tata kehidupan manusia orang Jawa pada masa lampau / kuna. Hal ini tersirat dalam beberapa penjelasan di dalam serat tersebut. Selain itu juga tersurat dalam pembuka serat Tatacara sebagai berikut :
          “ ... pakulinanipun tiyang Jawi sampun kathah ewahipun, tata cara kina kathah ingkang kabucal, ngangge tatacara enggal. Mila punapa ingkang kapratelakaken ing serat Tatacara punika ing Jaman Samangke inggih sampun kathah ingkang boten dipunlampahi” (STC hal 2)
b)                 Setting
Latar atau setting merupakan tempat terjadinya peristiwa-peristiwa atau waktu berlangsungnya tindakan. Jadi, peristiwa-peristiwa itu terjadi dalam latar tempat dan latar waktu. Dalam serat Tatacara dapat diketahui ada beberapa tempat , waktu dan suasana yang digunakan sebagai setting terjadinya ceita dalam serat tersebut.
1)             Wulan Rabingulakir                                                                          hal 12
“ enget kula dhek wulan Rabingulakir, sak niki wulan Ruwah.”
2)             Gading, Pasar Kliwon                                                                         hal 18
“ menyanga Gadhing banjur menyang pasar Kliwon “
3)             Ngisor kemuning                                                                                 hal 24
“ gawea luwangan ngisor kemuning kulon jamban kae “
4)             Jero Kraton                                                                                          hal 25
“ menyang jero Kraton wae “
5)             Tanggal 7 wulan Rabingulakhir                                                        hal 49
“ siyos benijing tanggal ping 7 wulan Rabiulakhir “
6)             Mengko sore                                                                                         hal 55
“ mengko sore rampungna banjur ladekna marang aku “
7)             Slasa legi                                                                                               hal 67
“ dinten Slasa Legi dipuntimbali mrika “
8)             Toko tuwan van bronkhorts                                                             hal 73
“ lama Sobat tidak datang ke toko “
9)             Pukul 8                                                                                                             hal 79
“ pukul 8 tamu wiwit dateng dalidir “
10)         Awan ( siang )                                                                                     hal 93
“ kok nganti awan lagi teka?”
11)         Pesantren panaraga                                                                            hal 95
“ dak parakake menyang pesantren panaraga “
12)         Rebo legi jam 6 enjing                                                                         hal 100
“ benjing dinten Rebo Legi wau, wanci jam 6 enjing”
13)         Kliwonan                                                                                              hal 101
“ jagong supitan dhateng kliwonan rumiyin “
14)         Jam pukul 6                                                                                         hal 103
“ ing wanci pukul 6 enjing , tamu wiwit dhateng sesarengan “
15)         Ing pendapa                                                                                         hal 103
“ sakedhap ing pendapa sampun jibeg kebak tamu “
16)         Ing dingklik patetakan                                                                        hal 104
“ linggih wonten ing dingklik patetakan “
17)         Ing griya                                                                                               hal 105
“ malebet dhateng ing griya “
18)         Redi Merapi                                                                                         hal 111
“ ... klebet sukunipun redi Merapi”
19)         Saben esuk saba teng sastrajendran                                                 hal 112
“Saben esuk saba teng sastrajendran, nyuwun berkah sinau kasusastran Jawa “
20)         Dhek wingi sore aku weruh kowe                                                      hal 116
“Dhek wingi sore aku weruh kowe mangetan, menyang endi?”
21)         Linggihan ing jaba bae                                                                       hal 121
“ linggihan ing jaba bae Plak, kene isis “
22)         Wonten ing plataran                                                                           hal 122
“ omong-omongan wonten ing palataran “
23)         Onten ing regol                                                                                    hal 123
“ semayan mawon jam 4 empuna onten ing Regol “
24)         Saben Senen- Kemis wanci sonten                                                     hal 130
“ saben Senen – Kemis ing wanci sonten sowan dhateng Martengsaren"
25)         Nagara ngayogjakarta                                                                        hal 136
“ satekane Praja Dalem ana ing Nagara Ngayogyakarta”
26)         Ing Surakarta                                                                                     hal 137
“ Kangjeng tuwan Residhen ing Surakarta “
27)         Ing wayah sore                                                                                     hal 139
“... kudu merdhayoh mrana ing wayah sore “
28)         Dinten anggara kasih , wanci setengah pitu                                      hal 140
“ kacariyos sampun dumugi dinten anggara kasih , wanci setengah pitu”
29)         Ing pandhapa                                                                                       hal 149
“ ingancaran lenggah ing pendhapa “
30)         Ing griya sarta dhateng ing pandhapa                                              hal 154
“dhateng ing griya sarta dhateng ing pandhapa”
31)         Wanci jam sanga enjing                                                                      hal 167
“wanci jam sanga enjing, tamu jaler estri wiwit dhateng “
32)         Ing pandhapa                                                                                       hal 167
“tamu jaler njujug ing pendhapa”
33)         Wayah Sonten                                                                                      hal 170
“ Sontenipun nyantri “
34)         Wanci pukul pitu                                                                                 hal 170
“ wanci pukul pitu tamu ingkang badhe ngiringaken panganten sampun dhateng”
35)         Wanci setengah wolu                                                                           hal 171
“ wanci setengah wolu, panganten bidhal “
36)         Ing pandhapa                                                                                       hal 171
“lajeng lampahipun malebet ing pandhapa”
37)         Wanci jam sadasa                                                                                hal 173
“ sareng wanci jam sadasa, dhawahe sangat : Jabarail ,slamet”
38)         Pukul nem                                                                                            hal 179
“ sareng ndungkap pukul enem “
39)         Wonten ing margi prapatan                                                               hal 190
“ nyebaraken saben wonten ing margi Prapatan “
40)         Jam sepuluh                                                                                         hal 191
“ iki wis ngarepake jam sepuluh “
41)         Pasareyan                                                                                             hal 193
“ pasareyane eyangmu becik pikiren eyup-eyupe”

c)            Penokohan
Penokohan merupakan suatu proses penampilan tokoh sebagai pembawa peran watak tokoh dalam cerita. Kehadiran tokoh yang berkepribadian dalam karya sangat penting, karena tokoh-tokoh ini merupakan sarana bagi pengarang untuk menjalin peristiwa yang disajikan serta mengarahkan jalannya suatu peristiwa. Tokoh dapat juga berfungsi sebagai pembentuk alur cerita selain itu, tokoh dapat pula digunakan sebagai sarana menyampaikan ide pengarang. Dalam cerita, kadang-kadang seorang tokoh menggugah simpati, kadang pula menimbulkan antipati bagi pembaca. Dalam serat Tatacara terdapat beberapa tokoh antara lain :
1)             Raden Nganten ( istri R.M Ngabei Tangkilan)                                 hal 7
“ Raden Nganten : mbok menawi inggih bu “
2)             Nyai Ajeng ( Ibu R.M Ngabei Tangkilan )                                        hal 7
“Nyai Ajeng :Nduk,kowe kuwi ayak’e wis ngandheg.”
3)             Raden Mas ngabei Tangkilan                                                            hal 12
“tangkilan : olehmu ngendhut wis pirang sasi’e nduk?”
4)             Gembur ( pembantu laki –laki )                                                         hal 18
“gembur: kulo ”
5)             Raden Ngabehi Sasak ( Bapak R.M Ngabei Tangkilan)                 hal 18
Raden ngabei sasak:sopo kowe?”
6)             Raden Ngabei Bendhung ( Adik R.Ng Sasak )                                 hal 19
“bendhung: lho kowe bur awan-awan ........”
7)             Mas Ayu ( Istri R.Ng Bendhung )                                                      hal 19
“mas ayu: kulo”
8)             Mbok Sandilata ( dukun Beranak )                                                   hal 21
“mbok sandilata:ndi banyune mas”
9)             Ladreg ( pembantu laki-laki )                                                 hal 22
“reksa karya: kulo”
10)         Gedrug ( pembantu laki-laki )                                                            hal 23
gedrug: nggih nigile”
11)         Nyai Adipati sedhahmirah ( Nenek Perempuan )                            hal 25
“sedhah mirah: menyang njero kraton bae”
12)         Riwug ( pembantu perempuan)                                                         hal 25
“riwug: kula”
13)         Mbok Karya Boga ( pembantu perempuan)                                                hal 27
“karya boga: lenggah ana ngendi”
14)         Mbok jaga karsa ( pembantu perempuan)                                       hal 28
“jaga karsa: meniko”
15)         Mbok jaga karya ( pembantu perempuan)                                       hal 35
“jaga karya: kula”
16)         Raden Bagus Suwarna ( anak laki-laki R.M.Ng Tangkilan )         hal 36
“anakmu diparingi jeneng raden bagus suwarno”
17)         Sastra Ubaya ( pembantu carik )                                                       hal 36
“Sastra ubaya: mugi kaparingan ngengreng”
18)         Sedhet ( pembantu perempuan)                                                         hal 40
“sedhet: inggih punika”
19)         Pari Bayungan ( pembantu urusan keuangan )                               hal 42
“pari bayungan: nigilo”
20)         Bekel Jethis ( kepala desa Jethis )                                                      hal 43
“duit pasumbang saka bekel jethis“
21)         Caplis ( cucu Mbok jaga karsa )                                                        hal 53
“kala putu kula pun caplis rumiyin umur wolung taun”
22)         Mbok Waronjene ( tetangga Mbok Wagaprana)                             hal 53
“anakipun tangga kula mbok waronjene”
23)         Mbok Wagaprana ( teman Mbok Jaga karsa )                                hal 54
“mampiro menyang omah’e bong wadon mbok wagaprana”
24)         Taru Pala ( penjual buah-buahan)                                                    hal 59
“taru pala: niku napa kurang becik?”
25)         Banjarsari ( penjual daging )                                                              hal 63
“banjarsari:mank tuku seringgit mawon”
26)         Seli ( penjual snack )                                                                            hal 64
“seli: molung wang”
27)         Roda mala ( penjual sayuran )                                                           hal 64
“roda mala: sing onten dhasaran niki nopo kirang sae?”
28)         Dayarasa ( penjual bumbu makanan )                                              hal 65
“dayarasa: napa saka blonjo niku wau?”
29)         Karya puspa ( penjual bunga )                                                          hal 67
“karya puspa: ingkang sampean padosi sekaran menapa?”
30)         Randha semaya ( penjual kain )                                                         hal 68
“randha semaya: napa ajeng tumbas?”
31)         Sing Siu ( penjual Sembagi )                                                               hal 69
“sing siu: opo kowe alep tuku sembagi”
32)         Karya Wastra ( penjual kain batik )                                                  hal 71
“karya wastra: wonten sedaya”
33)         Buja Prasita ( juru minum )                                                               hal 72
“buja prasita: kula ”
34)         C. Van Bronkhorst ( penjual minuman keras )                                hal 73
“c.van bronkhorst: so..raden ngabei ”
35)         Bau Karya ( pembantu laki-laki)                                                       hal 74
“bau karya: kula mas”
36)         Tyang Sing ( penjual Teh )                                                                 hal 75
“tyang sing: iya,kiye ”
37)         Miling ( ketua paguyuban karawitan )                                              hal 76
“miling: sinten”
38)         Prabakesa ( tamu )                                                                              hal 80
“prakesa: ooo...kula solo mboten apil
39)         Sastra Jendra ( tamu )                                                                         hal 80
“sastra jendra: leres,nanging ragi panjang”
40)         Nyai Eyang Menggung ( nenek R.ng mas Tangkilan)                     hal 88
dados suwargi nyai eyang menggung”
41)         Raden tumenggung Sujana Pura ( kakek R.ng mas Tangkilan)    hal 89
“dadi bupati mancanegara nama raden tumenggung sujana pura”
42)         Den Ayu Saralathi ( adik Raden Nganten )                                      hal 89
“jaganana den ayu Saralathi”
43)         Mbok mas dhawuk ( pembantu perempuan)                                   hal 90
“mbok mas dawuk,Putumu pondhongen menyang jamban”
44)         Raden Lara Suwarni ( anak perempuan Raden Tangkilan)          hal 91
raden lara suwarni lajeng sampun didandosi”
45)         Denta Winangun ( tukang nyupit )                                                    hal 93
“denta winangun: inggih”
46)         Jaya Nimpuna ( pembantu laki-laki)                                                 hal 98
“jaya nimpuna: kula”
47)         Ki Ahmad Semangi ( Kyai di Ponpes Panaraga )                            hal 103
“kaum kene ki ahmad semangi”
48)         Mandhang Japlak ( congkok dari R.M.ng tangkilan  )                   hal 110
“mandhang japlak: nun inggih”
49)         Kenthi-Wiri ( pembantu laki-laki)                                                     hal 110
“kenthi wiri: nun inggih”
50)         Raden Demang Malang                                                                      hal 113
“raden demang malang: ibune ”
51)         Mas Ajeng demang malang ( Istri R.demang Malang)                    hal 113
“mas ajeng demang malang: wonten napa kanjeng?”
52)         Mas Bei Dhelong (calon suami R.lara suwarni )                               hal 115
“bebasane kalih mas bei dhelong”
53)         Panakawan ( pembantu demang malang )                                        hal 116
“panakawan: punika ki mugeng sowan”
54)         Ki Mugen ( congkok dari demang Malang )                                     hal 118
“ki mugen: engga mang tandhing”
55)         Pangeran Dhadhung Marteng Sari                                                   hal 121
“Pangeran Dhadhung Marteng Sari: mandhang japlak ”
56)         Raden Bagus Sarjana ( putra Pangeran Dhandung )                      hal 125
“ingkang putra raden bagus sarjana”
57)         Pangeran Arya Pringgalaya ( calon Putra mahkota)                       hal 134
nama pangeran arya pringgalaya”
58)         Raden Mas Bei Brotodipura (  wadana kliwon santana )                hal 135
“nama raden mas ngabei brotodipura”
59)         Raden Ngabei Wangsa Negara (wadana kliwon kawula)               hal 135
“abdi dalem raden ngabei wangsa negara”
60)         Raden Adipati Danureja ( panggedhe Karaton Ngayogyakarta)   hal 136
“raden adipati danureja: kula”
61)         Kanjeng Sultan ( Raja karaton Ngayogyakarta)                             hal 136
“kangjeng sultan mangsuli pangandika”
62)         Talang Karsa  ( tamu R.M.Ng Tangkilan )                                       hal 149
“talang karsa: inggih”
63)         Raden Ajeng Mulat ( putri Pangeran Dhandhung)                         hal 156
“nama raden ajeng mulat”
64)         Kyai Pangulu ( penghulu pernikahan)                                              hal 174
“kyai pangulu kula ngersaya ing ijengan ndika”
65)         Jaya lumeksa ( pembantu laki-laki)                                                   hal 186
“kang jaya lumeksa semang ditimbali ndoro bei”
66)         Reksan Tani ( pembantu laki-laki)                                                    hal 186
“marang si reksa tani”
67)         Jaya Puspita ( tukang gali kubur )                                                     hal 186
jaya puspita:kula”
68)         Jaya Pakiringan ( pembantu laki-laki)                                              hal 187
“jaya pakiringan: nun kula”
69)         Nara Karya ( pembantu laki-laki)                                                     hal 192
“nara karya: sampun”




d)                 Alur
Alur merupakan cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Terdapat beberapa tahapan dalam alur. Menurut Mochtar Lubis secara sederhana dan kronologis, alur dalam sebuah cerita terdiri dari lima bagian, yaitu : Situation (pengarang mulai melukiskan keadaan), Generation circumstances (peristiwa yang bersangkut paut mulai bergerak), Rising action (keadaan mulai bergerak), Climax (peistiwa-peristiwa mencapai klimaks), Denoument (pengarang memberikan pemecahan soal dari semua peristiwa).
Alur serat Tatacara tidak mengalami perubahan keadaan yang signifikan, karena dalam serat Tatacara ini setiap sub bab merupakan dialog – dialog singkat yang membahas sebuah tata kehidupan dalam masyarakat. Alur tema ini adalah datar. Seperti dalam adegan dibawah ini merupakan adegan sekali dan selesai.
“Raden adipati timbalan dalem”
“inggih sandika.”
Raden Adipati Sastradiningrat!”
“kula.”
“Pakenira tampa timbalan dalem , dhawuhing timbalan dalem, pakenira kapatedhan uninga, yen karsa dalem samangke putra dalem bandara Raden Mas Surati kakarsakaken nama bandara Pangeran Angabei. Pakenira Mupakatna saabdi- dalem ing Surakarta sadaya.”(STC halaman 134)
Alur cerita dalam STC merupakan alur maju karena adegan selalu bersambung ke adegan berikutnya.
Wusana lajeng dipun tilar dhateng ing gedhong santun pangangge sayektos,....Dalunipun ringgitan purwa, mawi ulem- ulem tamu jaler estri, ningali ringgit, sambenipun kasukan kertu, lampahanipun lair-lairan, ingkang sae piyambak lairipun Gathutkaca. Mawi medal brayut: tiyang dusun sugih anak “ (STC halaman 17)

Pada bagian akhir STC sub bab mengenai Slametan Orang Meninggal, bab ini dibahas sampai tuntas dan tidak menyisakan pertanyaan. Sehingga STC termasuk dalam alur tertutup.
“...Para priyantun wonten ingkang nulad ngaturi dhahar kol. Manawi tiyang alit, boten, kajawi sudagar ingkang sugih- sugih. TAMAT (STC halaman 201)

e)                  Sudut pandang pengarang (point of view)
Sudut pandang adalah cara memandang dan menghadirkan tokoh-tokoh cerita dengan menempatkan dirinya pada posisi tertentu. Dalam serat Tatacara pengarang menggunakan sudt pandang yang ketiga, yaitu pengarang berada diluar cerita. Maka soelah-olah pengarang merupakan yang mengetahui dan mengatur jalannya cerita. Hal ini terlihat dalam penggunaan kata-kata yang menceritakan keberadaan pengarang sebagai berikut :
Kacariyos raden nganten Tangkilan sareng anakipun raden bagus suwarno sampun dipun sapih, lajeng wawrat, ing mangsa gadhah lare medal estri, dipun sukani nama dateng embahipun mas ngabehi bendung : raden rara suwarni. Lampah-lampahipun mboten kacariyosaken amargi namung wor misah prasasat mboten wonten sanesipun. Sapunika ingkang kacariyosaken lare jaler istri kakang adhi dumalundhung mboten wonten sangsayanipun, kalis ing sakit, enggal ageng kados ingedusan ing toya gedhe, umur 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, taun, mboten kacariyos. Ingkang jaler samangke umur 12 taun, ingkang estri umur 10 taun. ( STC hal 48 )
f)    Amanat
Amanat berarti pesan. Pesan yang disampaikan pengarang mungkin jelas, tersurat (ekplisit) tetapi mungkin juga tidak jelas, samar-samar tersirat. Tidak  jarang pengarang menyampaikannya secara simbolik dan teknih-teknik lain yang  sulit diketahui pembacanya.
            Amanat serat Tatacara secara tersirat terdapat dalam sub bab masing-masing yang mengenai sifat pengarang dan kehiudupan yang ada di dalam serat Tatacara. Secara tersurat banyak sekali hal yang dapat diambil dari serat Tatacara ini, meliputi berbagai macam tatacara kehidupan mulai lahir sampai mati. Sebagai contoh adalah perilaku orang yang minum minuman keras akan berakibat buruk, jadi minum-minuman keras itu perbuatan tidak baik.
“ menggah ingkang mungel ing serat primbon pradikaning minum punika makaten :
1)      Eka padmasari; eka : sawiji, padma : kembang; sari : sarining kembang; wong ngombe entuk sadhasar , kaya komi : kaya kumbang ngisep sari.
2)      Dwi amartani; dwi : loro, amartani: andhap asor; wong minum antuk rong dhasar, saenggo gelem dikongkon, utawa diepak;
3)      Tri kawula busana; tri : telu, kawula : batur, busana : panganggo; wong minum antuk telung dhasar, sanajan batur yen becik panganggone kudu jajar lungguh lan bendarane;
4)      Catur wanara rukem; catur : papat, wanara : kethek, rukem: wowohan; wong minum antuk patang dhasar, kaya kethek mangan wowohan;
5)      Panca sura panggah; panca : lima, sura : wani panggah : kasuguhan; wong minum antuk limang dhasar, sanajan wong kuru mengi amesthi ngumbar sanggup;
6)      Sad guna weka; sad : nenem, guna : bangkit, weweka : pangawasaning ati; wong minum antuk nem dhasar, sanajan krungu wong maca utawa muji, pangrasane angrasani ala marang awake;
7)      Sapta kukila warsa; sapta : pitu, kukila : manuk, warsa : udan; wong minum anthuk pitung dhasar, kaya manuk kodanan, awak ndharedheg, cangkeme kemruwuk;
8)      Astha sacara-cara; astha : wolu, sacara-cara : sawiyah-wiyah; wong minum anthuk wolung dhasar, gampang metokake ujar sawiyah-wiyah;
9)      Nawa grapa lapa; nawa : sanga, gra ( wagra ) : awak, lapa : lesu; wong minum anthuk sangang dhasar, wus sarwa lesu awake;
10)  Dasa buta mati; dasa : sepuluh, buta : medeni, mati : mati temen; wong kang minum sepuluh dhasar, wus saengga mati, ewadene isih medeni, yen obah, kang ndeleng padha lumayu.”( STC hal 81 )










Penutup
a)      Kesimpulan
Serat Tatacara adalah sebuah karya yang adiluhung , dimana di dalamnya berisi tentang tata kehidupan masyarakat Jawa yang sangat teratur. Secara filosofis mengandung nilai religius, etika dan budaya ketimuran yang sangat halus. Serat Tatacara berisi tentang uraian tentang budaya, adat-istiadat, upacara tradisi (sejak seorang ibu mengandung, melahirkan, khitan, nikah, sampai kematian), permainan, dan kesenian orang Jawa yang dikemas dalam bentuk cerita. Aplikasi dari cerita itu digambarkan dalam siklus kehidupan manusia mulai dari dalam kandungan, lahir, menikah, sampai meninggal dunia.

Dalam setiap sub bab mengenai siklus kehidupan masyarakat Jawa pada waktu itu merupakan hasil karya yang luar biasa. Sebagai generasi muda kita wajib melestarikan kebudayaan lokal yang relevansinya mempunyai dampak baik bagi kehidupan manusia dan membentuk karakter bangsa yang kuat dalam persaingan global.

b)     Saran
1)      Perlu adanya kajian lebih lanjut setiap sub bab dari serat Tatacara.
2)      Perlu diadakan penelitian mengenai relevansi nilai – nilai yang terkandung dalam serat Tatacara, mengingat adat – istiadat budaya masyarakat Jawa sekarang sudah mengalami perubahan dalam berbagai aspek.





















Daftar Pustaka
Rec. 176. Tatacara, Padmasusastra, 2602 (Tahun 1911).
Powered By Blogger