Jumat, 16 April 2010

Santri, priyayi, dan abangan

SANTRI
Mojokuto yang berdiri pada pertengahan akhir abad ke-19, jemaah muslimnya terkristal dalam latar abangan yang umum. Sementara mereka yang terdiri dari kelas pedagang dan banyak petani muncul dari utara Jawa memunculkan varian santri. Perbedaan yang mencolok antara abangan dan santri adalah jika abangan tidak acuh terhadap doktrin dan terpesona kepada upacara, sementara santri lebih memiliki perhatian kepada doktrin dan mengalahkan aspek ritual Islam yang menipis (hal. 172). Santri juga lebih peduli kepada pengorganisasian sosial umat di sekeliling mereka. Di Mojokuto, ada empat lembaga sosial yang utama; parpol Islam, sistem sekolah agama, birokrasi pemerintah/Depag, dan jamaah masjid/langgar. Keempatnya berpautan baik pada santri yang modern dan kolot. Ada tiga titik komunitas santri di Mojokuto: yakni petani santri desa yang kaya, pedagang kecil kota, dan keluarga penghulu/aristokrasi santri. Perbedaaan sosial inilah yang menyebabkan timbulnya konflik-konflik di antara mereka. Konflik itu dapat terpecahkan oleh kesamaan agama santri (hal. 182). Antara tahun 1953-1954, ada satu PSII yang menyisakan beberapa orang SI yang asli dan kerabat keluaraga, partai NU sebagai Orsos dan Parpol yang digabungkan dalam satu kesatuan organisasi yang agak lemah, Masyumi sedikit lebih baik dalam organisasi yang dipimpin orang Muhammadiyah, dan Muhammadiyah sendiri sebagai organisasi sosial (hal. 199).
Pembagian santri modern dan konservatif oleh Geertz didasarkan pada 5 perbedaan tafsir keduanya; kehidupan yang ditakdirkan lawan kehidupan yang ditentukan sendiri, pandangan yang totalistik lawan terbatas, Islam sinkretik lawan Islam murni, perhatian kepada pengalaman religius lawan penekanan aspek instrumental agama, pembenaran atas tradisi dan madzhab lawan pembenaran purifikasi secara umum dan pragmatis (h. 217). Sehingga pandangan dunia santri kolot sebenarnya lebih dekat kepada abangan. Hubungan santri modernis dan konservatif lebih kepada penyikapan terhadap abangan. Jika modernis menekankan disasosiasi dan purifikasi dalam sebuah kelompok kecil pemimpin agama kaum konservatif mencoba mengambil jalan tengah yang selaras dengan tradisi yang berlaku.
Pandangan keagamaan santri modernis vis a vis konservatif mempolakan pengorga-nisasian politik yang sama. Ada Masyumi-Muhammadiyah dan PSII sebagai progresif-modernis dan NU yang konservatif. Jika NU mengalami konflik antara generasi mudanya yang terpelajar dan terpengaruh kota dengan kiai-kiai pedesaan yang lebih tua, sementara konflik dalam Masyumi-Muhammadiyah antara yang saleh dan sekuler atau mengatur agar Islam modernis tidak menjadi sekuler. (hal. 227).
Untuk mempertahankan doktrin santri mereka mengembangkan pola pendidikan yang khusus dan terus menerus. Di antaranya pondok (pola santri tradisional), langgar dan masjid (komunitas santri lokal), kelompok tarekat (mistik Islam tradisonal) dan model sekolah yang diperkenalkan oleh gerakan modernis. Pertemuan antara pola pondok dan sekolah memunculkan varian pendidikan baru dan upaya santri memasukkan pelajaran doktrin pada sekolah negeri/sekuler.
Terkait ide negara Islam, santri konservatif memahaminya sebagai teokrasi di mana para kyailah yang berkuasa. Sementara modernis berpandangan ada jaminan non muslim tidak menjadi kepala negara dan konstitusi yang mencantumkan hukum harus sesuai dengan jiwa al-Quran dan Hadis dan menyerahkan pelaksanaannya pada pembuat Undang-undang. Geertz memandang Depag merupakan kompromi kedua santri terhadap keberadaan negara nasional. Pada akhirnya terjadi rivalitas kedua santri menguasai birokrasi di Depag.
Pola ibadat santri yang meliputi sembahyang, shalat Jumat dan puasa di Mojokuto dalam beberapa masalah masih terpengaruh oleh perbedaan santri modernis dan konservatif. Di antaranya persoalan khutbah, teraweh, tadarus dan akhir liburan puasa. Terkait shalat itulah yang secara tegas membedakan antara santri dengan abangan dan priyayi.



PRIYAYI
Priyayi mewakili aristokrasi Jawa. Kebanyakan mereka berdiam di kota yang disebabkan ketidakstabilan politik dalam kerajaan masa pra-kolonial, karena filsafat mereka yang melihat ke dalam yang lebih menghargai prestasi mistik daripada keterampilan politik, upaya Belanda merangkul petani. Mereka adalah birokrat, klerk/juru tulis, guru bangsawan yang makan gaji. Priyayi asalnya adalah keturunan raja-raja besar Jawa yang tersisa merupakan hasil dari kehidupan kota selama hampir 16 abad., namun berkembang oleh campur tangan Belanda kepada kelompok instrumen administrasi pemerintahan.
Priyayi memandang dunia ini dengan konsep alus dan kasar. Alus menunjuk pada murni, berbudi halus, tingkah laku yang halus, sopan, indah, lembut, beradab dan ramah. Simbolnya adalah tradisi kromo-inggil, kain bagus yang alus, musik alus. Dan konsep alus ini bisa menunjuk apa saja yang semakna dengan alus. Lawan dari alus adalah kasar dan merupakan kebalikan dari alus, bahasa kasar, tingkah laku kasar. Konteks priyayi bertemu dengan abangan dalam hal alus dan kasar. Sementara titik kehidupan “keagamaan” priyayi berpusat etiket, seni dan mistik. Yang menggabungkan unsur ketiganya adalah rasa.
Ada empat prinsip pokok yang menjiwai etiket priyayi yakni bentuk yang sesuai untuk pangkat yang tepat, ketidak langsungan, kepura-puraan, dan menghindari perbuatan yang ngawur atau tak menguasai diri. Ada banyak cara yang ditunjukkan oleh priyayi untuk menunjukkan sesuatu namun tetap berpegang pada prinsip tadi. Hal ini yang mengesankan priyayi adalah kaku, bertingkat dan formal.
Priyayi menganggap bahwa wayang, gamelan, lakon, joged, tembang dan batik adalah perwujudan kesenian yang alus. Berbeda halnya dengan ludrug, kledek, jaranan, dan dongeng sebagai kesenian yang kasar. Dan kesenian itu mengekspresikan nilai-nilai priyayi. Tidak mungkin bagi priyayi Mojokuto (camat misalnya) mengundang ludrug untuk pesta pernikahan anaknya.
Pandangan dunia priyayi terhadap aspek religius disebut dengan mistik. Mistik yang dimaksud adalah serangkaian aturan praktis untuk memperkaya kehidupan batin orang yang didasarkan pada analisa intelektual atau pengalaman. Tujuan pencarian mistik adalah pengetahuan tentang rasa dan itu harus dialami oleh priyayi. Ritual yang dilakukan adalah bentuk tapa dan semedi dalam keadaan ngesti (menyatukan semua kekuatan individu dan mengarahkannya langsung pada tujuan tunggal, memusatkan kemampuan psikologis dan fisiknya ke arah satu tujuan yang sempit (hal. 430).
Sekte-sekte mistik Mojokuto dalam bentuknya yang formal mengambil anggota dari pejabat (wedana), aparat (mantri polisi), penilik sekolah, juru gambar dan sejenisnya dari kalangan priyayi.
ABANGAN
Bagi sistem keagamaan Jawa, slametan merupakan pusat tradisi yang menjadi perlambang kesatuan mistis dan sosial di mana mereka berkumpul dalam satu meja menghadirkan semua yang hadir dan ruh yang gaib untuk untuk memenuhi setiap hajat orang atas suatu kejadian yan ingin diperingati, ditebus, atau dikuduskan. Misalnya kelahiran, kematian, pindah rumah, mimpi buruk, ganti nama, sakit, dll. Struktur upacaranya terdiri dari hidangan khas, dupa, pembacaan doa Islam, dan pidato tuan rumah yang disampaikan dalam bahasa Jawa tinggi yang resmi. Dan bagi kalangan abangan yang terdiri dari petani dan proletar, slametan adalah bagian dari kehidupannya.

Dalam tradisi slametan dikenal adanya siklus slametan: (1) yang berkisar krisis kehidupan (2) yang berhubungan dengan pola hari besar Islam namun mengikuti penanggalan Jawa (3) yang terkait dengan integrasi desa, bersih desa (4) slametan sela untuk kejadian luar biasa yang ingin dislameti. Semuanya menunjukkan betapa slametan menempati setiap proses kehidupan dunia abangan. Slametan berimplikasi pada tingkah laku social dan memunculkan keseimbangan emosional individu karena telah di_-slamet-_i (hal. 17).

Kepercayaan kepada roh dan makhlus halus bagi abangan menempati kepercayaan yang mendasari misalnya perlunya mereka melakukan slametan. Mereka percaya adanya memedi, lelembut, tuyul, demit, danyang, dan bangsa alus lainnya. Hal yang berpengaruh atas kondisi psikologis, harapan, dan kesialan yang tak masuk akal. Semuanya melukiskan kemenangan kebudayaan atas alam, dan keunggulan manusia atas bukan manusia (hal. 36). Gambarannya adalah kebudayaan orang Jawa berkembang dan hutan tropis yang lebat berubah menjadi persawahan dan rumah, makhlus halus mundur ke sisa belantara, puncak gunung berapi, dan Lautan Hindia.

Kalau kepercayaan mengenai roh dan berbagai slametan merupakan dua sub katagori daripada agama abangan, maka yang ketiga adalah kompleks pengobatan, sihir dan magi yang berpusat pada peranan seorang dukun (hal.116). Ada beberapa macam dukun: dukun bayi, dukun pijet, dukun prewangan, dukun calak, dukun wiwit, dukun temanten, dukun petungan, dukun sihir, dukun susuk, dukun japa, dukun jampi, dukun siwer, dukun tiban. Masyarakat Mojokuto secara umum mengakui adanya dukun, namun apakah mereka percaya kepada kemampuan dukun merupakan masalah lain. Ada konsep lain yang menyertainya yaitu kecocokan (cocog).

Pembagian masyarakat yang ditelitinya ke dalam tiga tipe budaya ini didasarkan atas perbedaan pendangan hidup di antara mereka. Subtradisi abangan yang menurut Geertz didwarnai berbagai upacara selamatan, praktik pengobatan tradisional, serta kepercayaan kepada mahluk halus dan kekuatan gaib itu terkait pada kehidupan di pedesaan. Subtradisi santri yang ditandai oleh ketaatan pada ajaran agama Islam serta keterlibatan dalam berbagai organisasi sosial dan politik yang bernafaskan Islam dijumpai di kalangan pengusaha yang banyak bergerak di pasar maupun di desa selaku pemuka agama. Subtradisi ketiga, priayi, ditandai pengaruh mistik Hindu-Budha prokolonial maupun pengaruh kebudayaan Barat dan dijumpai pada kelompok elite kerah putih (white collar elite) yang merupakan bagian dari birokrasi pemerintah. Dengan demikian Geertz melihat adanya keterkaitan erat antara ketiga subtradisi ini –abangan, santri, dan priayi—dengan tiga lingkungan –desa, pasar, dan birokrasi pemerintahan.
Di tahun 50-an dan 60-an dijumpai suatu pengelompokan yang terdiri atas partai politik yang masing-masing mempunyai organisasi massa sendiri –suatu pengelompokan yang oleh Geertz dinamakan aliran. Di Jawa Geertz mengidentifikasikan empat aliran: PNI, PKI, Masyumi, dan NU. Yang menarik ialah bahwa pola aliran tersebut kemudian dikaitkan dengan ketiga subtradisi Geertz, muncul pandangan bahwa ketiga subtradisi tersebut melandasi pengelompokan aliran. Menurut pendapat ini aliran berhaluan Islam (Masyumi dan NU) didukung oleh kaum santri, PNI berintikan kaum priayi, dan PKI didukung oleh kaum abangan.
Sebagaimana telah disebutkan, klasifikasi Geertz telah memancing berbagai reaksi. Harsya W. Bachtiar (1973), misalnya, menememukan beberapa masalah dalam klasifikasi Geertz ini, antara lain mengemukakan bahwa Geertz tidak secara tegas mengemukakan apakah klasifikasinya merupakan klasifikasi budaya ataukah klasifikasi kelompok. Sebagai klasifikasi kelompok, pembagian Geertz ini dipandang tidak memadai karena besarnya kemungkinan tumpang tindih. Dari segi ketaatan pada ajaran agama Islam, misalnya, seorang priayi dapat diklasifikasikan sebagai santri atau abangan.
Dalam dinamika sosial, di antara ketiga golongan tersebut sering ditemukan pola-pola konflik, yakni konflik idiologi, konflik kelas, dan konflik politik.
Konflik Ideologi
Ketegangan antara priayi dengan abangan dalam hal ideologi tidak terlihat secara jelas dibandinkan ketegangan antara kaum santri dengan kaum abangan dan kaum priayi. Terhadap ideologi kaum santri terlihat jelas dengan nyanyian ejekan kaum abangan yang mengisyaratkan bahwa kaum santri yang merasa memiliki moralitas lebih suci dari kaum abangan dengan cara berpakaian sopan, seperti kerudung namun dalam kenyataan –menurut kaum abangan– masih melakukan perbuatan zina. Kaum priayi mengkritik tentang kemunafikan santri dan intoleransi di kalangan kaum santri terhadap golongan-golongan lain dalam masyarakat.
Menurut kaum abangan, ritual keagamaan haji ke Makkah yang dilakukan oleh kaum santri merupakan sikap yang tidak penting dan hanya membuang-buang uang saja. Yang lebih penting, menurut kaum abangan dan priayi, kesucian itu ada di dalam hati, bukan di Mekah atau di masjid.
Serangan kaum santri terhadap kedua golongan tersebut (abangan dan priyayi) tidak kalah tajam. Mereka menuduh kaum abangan sebagai penyembah berhala dan menuduh kaum priayi tidak bisa membedakan dirinya dengan Tuhan, terkait dengan kecenderungan kaum priayi untuk merumuskan nilai dan normanya sendiri yang berasal dari hati nurani, dan bukan berasal dari kitab suci.
Konflik Kelas
Ketegangan priyayi dan abangan terlihat jelas pada hubungannnya dengan persoalan status. Kaum priyayi menuduh kaum abangan tidak tahu tempatnya yang layak sehingga mengganggu keseimbangan organis masyarakat. Mereka menganggap bahwa kedudukan status sosial mereka lebih tinggi dibangdingkan kaum abangan sehingga mereka tidak suka jika kaum abangan yang mayoritas petani meniru gaya hidup mereka. Namun sejak zaman pendudukan Jepang di Indonesia, kaum abangan mulai menyuarakan persamaan hak dan status sosial dengan kaum priayi. Hal ini karena tidak adanya orang kuat dari kaum priayi di pedesaan sebagai tokoh-tokoh kekuasaan, kekayaan, dan kesaktian magis dalam strutur masyarakat.
Konflik Politik
Dalam kehidupan politik, sering terdapat ketegangan-ketegangan hubungan di antara ketiga golongan ini, yang berawal dari berbedanya ideologi ketiga golongan. Pada masa orde baru di mana partai politik yang ada disederhanakan menjadi tiga partai, ada kecenderungan terjadinya himpitan parameter antara partai dan aliran ini. Partai Persatuan Pembangunan identik dengan kaum santri, Partai Demokrasi Indonesia identik dengan kaum abangan, dan Golkar identik dengan kaum priayi. Ketiga varian ini sering ditajamkan dengan warna-warna mereka yang memang berbeda, kaum santri dan PPP identik dengan warna hijau, Kaum Abangan dan PDI identik dengan warna merah, sedangkan KaumPriayi dan Golkar identik dengan warna kuning.
Ketika azas tunggal diberlakukan di Indonesia, sehingga ketiga partai politik yang ada pada waktu itu harus menganut ideologi negara Pancasila, memang ada moderasi konflik di antara tiga golongan. Namun, tetap saja terjadi ketegangan ideologis antara kaum santri dengan kaum abangan. Pada pembahasan berbagai hal di kehidupan politik, misalnya tentang Undang-udang Perkawinan, konflik atau ketegangan antara Kaum Abangan (PDI) dengan Kaum Santri (PPP) sangat tajam.
Pada masa reformasi politik dengan banyak partai, memang keberadaan tiga varian itu sangat tersebar, tetapi apabila telah terjadi pergulatan ke titik-titik sentral kekuasaan, misalnya pemilihan presiden, maka segmentasi tiga warna itu menjadi terasakan kembali, bahwa akhirnya warna kehidupan politik Indonesia ya merah, kuning, dan hijau.
Konflik dan Integrasi
Agama tidak hanya memainkan peranan yang integratif dan menciptakan harmoni sosial tapi juga peranan memecah masyarakat. Dengan demikian ketiga varian agama Jawa di Mojokuto itu mempunyai peranan yang saling kontradiksi. Geertz menyimpulkan (hal. 476-477):
1.Ada banyak antagonisme diantara para pemeluk berbagai orientasi keagamaan; dan antagonisme ini mungkin sedang meningkat
2.sekalipun ada perbedaan antagonisme, semua/hampir semua orang Jawa memegang nilai-nilai yang sama yang cenderung melawan efek memecah dari penafsiran-penafsiran yang berbeda thd nilai-nilai ini. Lagipula, ada berbagai mekanisme sosial yang cenderung mencegah konflik nilai mempunyai akibat-akibat yang mengganggu.
3.faktor yang mempertajam konflik:
konflik ideologis yang hakiki karena ketidak senangan terhadap nilai-nilai kelompok lain.
Sistim stratifikasi sosial yang berubah dan mobilitas status yang cenderung untuk memaksakan adanya kontak diantara individu-individu dan kelompok-kelompok yang secara sosial dulunya sedikit terpisah
Perjuangan untuk kekuasaan politik yang makin meningkat secara tajam untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan pemerintiah kolonial yang cenderung untuk menyuburkan perbedaan-perbedaan agama dengan kepentingan politik
Kebutuhan akan kambing hitam untuk memusatkan ketegangan yang dibangkitkan oleh perubahan sistim sosial yang cepat
Hal-hal yang meredakan konflik antara lain termasuk:
Perasaan berkebudayaan satu, termasuk makin pentingnya nasionalisme, yang menitikberatkan pada kesamaan yang dipunyai orang Jawa (atau bangsa Indonesia) ketimbang pada perbedaannya
Kenyataan bahwa pola-pola keagamaan tidak terwujud secara langsung dalam bentuk-bentuk sosial, secara murni dan sederhana, melainkan dalam banyak cara yang berliku-liku, hingga janji keagamaan dan janji-janji lainnya kepada kelas, tetangga, dsb- cenderung untuk seimbang, dan berbagai individu dan kelompok aerotipe campuran timbul, yang bias memanikan perantara.
Toleransi umum yang didasrkan atas suatu “relatifisme kontekstual” yang menganggap nilai-nilai tertentu memang sesuai dengan konteksnya dan dengan demikian memperkecil misionisasi.
Pertumbuhan mekanisme sosial yang tetap untuk bentuk-bentuk integrasi sosial yang pluralistic dan nonsinkretis dimana orang yang berasal dari berbagai pandangan sosial dan nilai dasar yang berbeda dapat bergaul dengan cukup baik satu sama lain dan menjaga agar masyarakat tetap berfungsi.
Ketegangan sosial antara ketiga varian itu adalah priyayi dan santri tidak sepakat dalam banyak hal, dan kebencian petani terhadap aristokarasi yang memerintah yang eksploitatif dan pedagang santri kota sudah berlangsung lama. Sementara ketegangan ideology abangan dengan priyayi diungkapkan lebih halus dibanding keduanya dengan santri. Untuk konflik kelas terjadi antara priyayi dengan abangan dengan tuduhan seorang desa. Stratifikasi sosial masa setelah revolusi ini tidak sekaku masa kolonial dimana abangan dapat meraih status yang lebih tinggi karena prestasinya sudah terjadi dan karena abangan sudah lebih terorganisir.
Faktor yang mengintegrasi diilhami adanya keyakinan semua varian tentang ide kerukunan dan memakai simbol slametan, kepercayaan yang berbeda adalah relativ (tidak memaksa jika tidak cocog), saling kecocokan (cocog) diantara mereka jika dibandingkan dengan orang Cina atau Eropa, adanya nasionalisme dan proyeksi kebudayaan bersama yang baru, tidak selalu liniernya perubahan sistim tiap varian, adanya toleransi dan integrasi sosial yang pluralistic, munculnya hari-hari besar nasional dan hari 1 Mei dan 17 Agustus, dan faktor pemersatu yang menghilangkan semua perbedaan ketiga varian karena ketiganya merasa memiliki faktor itu adalah Riyaya. Yakni hari besar Jawa (dan Indonesia) akhir libur puas
KESIMPULAN
Santri, abangan, dan priyati, adalah tipologi yang dikenalkanoleh geertz tentang bagaimana perkembangan masyarakat islam di jawa. konsepnnya ini bukan lah satu stratifikasi, melainkan diferensiasi, artinya bahwa itu merupakan satu hal yang bukan dilakukan untuk memasukkan manusia ke dalam klas dan memiliki status yang vertikal, melainkan lebih cenderung ke arah horisontal. akan teapi perlu dipahami bahwa tipologi tersebut tidaklah bersifat ajeg kepada satu orang, buktinya ada semacam pergeseran pandangan dan mind-set tentang sebagian ornag, ketika ia muda menjadi abangan atau priyayai,teetapiketika tua menjadi santri. tapi yang jelas buku ini sungguh menambah khazanah pemikiran saya sebagai pendidik dan pegnamat masalah sosial dan budaya
Geertz menjelaskan bahwa agama khususnya dalam sistem sosial di Mojokuto tidak hanya memainkan peranan yang integratif dan menciptakan harmoni sosial dalam masyarakat, tapi juga mempunyai peran memecah. Disini terjadi perimbangan antara kekuatan integratif dan disintegratif. Geertz memaparkan berbagai konflik yang terjadi antara tiga varian keagamaan di Mojokuto dan melihat terjadi antagonisme antara masing-masing tipe. Ketegangan terbesar disimpulkannya antara kaum santri dan dua kelompok lainnya, meskipun antara abangan dan priyayi juga terjadi ketegangan yang cukup berarti.
Bagi kaum abangan dan priyayi, santri hanya menjalankan simbol-simbol agama tanpa memahami substansi apa yang terkandung dari ajarannya. Ritual agama justru banyak digunakan untuk menaikkan prestise seperti ibadah haji. bagi santri jika tidak melaksanakan kewajiban maka akan masuk neraka, tapi bagi orang abangan yang penting adalah masalah hati dan bisa berperilaku baik adalah hal yang lebih penting. Dari santri sendiri tidak kalah tajam serangannya. Ia menganggap bahwa kaum abangan adalah penyembah berhala dan priyayi tidak bisa membedakan dirinya dengan Tuhan.
Dalam konflik kelas, para priyayi merasa revolusi justru telah memutuskan Indonesia dari masa lampaunya. Sistem stratifikasi sosial yang menjadi tradisi dan bersifat stabil kini telah berubah. Orang-orang abangan berusaha meniru kehidupan priyayi dengan gaya berpakaiannya dan itu mengganggu keseimbangan organis masyarakat. Terjadi mobilitas status yang membawa orang abangan tidak berada jauh di bawah priyayi yang dulunya berada di ‘langit’ dan tidak bisa digapai. Mekanisme kasta yang mengisolasi sistem nilai abangan terhadap sistem nilai priyayi menjadi tidak efektif lagi.
Jika hanya dibaca dari sisi yang memecah tiga varian ini, maka jawa pastinya telah jatuh dalam perang antara semua melawan semua pada waktu yang lalu. Tapi ada unsur-unsur yang mempersatukan salah satunya rasa satu kebudayaan dan kekuatan nasionalisme yang tumbuh yang menghimbau sentimen harga diri bangsa. Semua orang jawa –santri, priyayi, abangan- menganggap bahwa kebenaran umum tertentu sudah terbukti dengan sendirinya. Dr. Geertz sendiri mengakui bahwa orang-orang modern termasuk dirinya yang memperlakukan agama-agama orang jawa menurut varian-varian utamanya cenderung mengaburkan konsensus umum tentang nilai yang menjadi dasar dan asal timbulnya varian ini. Seperti contoh orang itu harus rukun, bekerjasama, dan tolong menolong dan kepercayaan agama orang lain dipandang sebagai sesuatu yang relativistik.
Hampir semua masyarakat tidak bisa menghindarkan diri dari budaya slametan yang berasal dari kaum abangan. Ada toleransi yang didasarkan pada relativisme kontekstual dan pertumbuhan mekanisme sosial bagi bentuk integrasi sosial non sinkretik yang pluralistik. Contoh yang Dr. Geertz berikan memberikan gambaran toleransi tersebut. Dakwah yang disampaikan oleh kyai biasanya hanya disampaikan kepada golongan santri sendiri dengan tujuan untuk peningkatan kemurnian ajaran mereka yang telah memeluk agama ketimbang menambah pemeluk baru. Ketiga kaum itu cenderung untuk berpisah secara sosial sampai tingkat tertentu dan selanjutnya menerima kehadiran satu sama lain.

Selasa, 13 April 2010

DESKRIPSI NASKAH


Deskripsi Naskah SSN
1) Jakarta
(1) Judul Naskah                     :  Suluk Sida Nglamong
Nomor Naskah                        :  NR 179 (PR 75)
Tempat/koleksi                        : Perpustakaan   Fakultas   Sastra   Universitas Indonesia
Keadaan Naskah                     : Masih baik, menggunakan kertas HVS, berwarna kecoklat-coklatan terdapat lubang kecil-kecil, menggunakan iluminasi, bergaris-garis, tulisan tangan terlatih dan mudah terbaca. Sampul muka (bendel) warna merah tua dan sudah rusak dengan jilid punggung warna hijau tua.
Ukuran Naskah                       :  23 x 13 cm, 29 halaman, 18 baris 
Tulisan Naskah                        : Jawa, jelas, tidak ada yang menyimpang dari   kaidah penulisan aksara yang berlaku.
                                                   Berbentuk bulat sedang, miring ke kanan (kursif),
                                                   goresan  tipis dan sama, tidak terlalu rapat, dengan tinta berwarna hitam, tulisan baik dan mudah dibaca.
Keadaan  Tulisan                    : jelas
Bahan Naskah                         : kertas HVS bergaris, sampul merah tua dan agak rusak,  jilid punggung warna hijau tua dengan kertas tebal
Bentuk                                    : tembang macapat, terdiri atas tiga pupuh, yaitu:  megatruh, dhandhanggula, dan mijil
Bahasa                                     : Jawa Baru dan terdapat pengaruh bahasa asing, yakni  bahasa Jawa Kuna, Sanskerta, serta Arab.
Kolofon                                   : Pada teks Musyawaratan Para Wali, penyalin menyebutkan  dirinya Natadiharja, sedang pada teks-teks yang lain tidak ditemukan keterangan seperti itu. Melihat corak tulisannya, tampaknya teks ini  disalin oleh banyak orang. Keterangan tarikh dan tempat penyalinan juga tidak ditemukan dalam teks. Namun, tahun penyalinan dapat diketahui dari kertas kop berbingkai yang dipakai dalam naskah ini. Kop yang ada pada kertas ini sebagian berbunyi: ‘Raden Tumenggung Suryadi, 1833, Bupati Wadana Ageng Punakawan, Ngayogyakarta’; sebagian lain berbunyi: ‘Raden Tumenggung Suryadi, Bupati Wadana Papatih ing Kadipaten Anom, 8-1-5, 1839’. Ini berarti bahwa kertas kop ini merupakan kertas cetak pesanan R.T. Suryadi dari tahun 1903 dan 1909 masehi. Diduga naskah disalin sekitar tahun 1910 atas perintah Suryadi tersebut, atau bahkan ia sendiri yang menyalin naskah ini. Menurut keterangan di luar teks, naskah ini dibeli Pigeaud dari Ir. Moens pada tanggal 11 Mei 1932, di Yogyakarta. Kemudian oleh Mandrasatra dibuatkan ringkasannya pada bulan November 1932, namun ringkasan itu tidak ditemukan lagi dalam koleksi Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Catatan Lain                           : Teks ini terdapat dalam bendel naskah yang berjudul Primbon Suryadi. Naskah (bendel) ini berisi berbagai macam teks. Teks-teks itu pada umumnya mengajarkan berbagai hal yang berkaitan dengan ajaran mistik Islam-Kejawen. Rincian isi naskah adalah sebagai berikut: (1) Wirid Wejangan, (2) Suluk Wringin Sungsang, (3) Serat Seh Malaya (Sunan Kalijaga Geguru Ilmu), (4) Suluk Sida Nglamong, (5) Musyawaratan Para Wali, (6) Baron Sakender, (7) Babad Padjadjaran. Tambahan: nomor halaman ditulis dengan angka Arab. Pada halaman awal, di kanan atas, dengan tulisan tangan menggunakan pensil tertera: Gekochd doer bem. v. Ir. Moens; Yogyakarta, 11 Mei 1932, tertanda Mandrasastra, November  1932.



Pokok-Pokok Isi Teks:
Pupuh I, Megatruh
Bait 1-17 (hlm. 135-139)        : Mengisahkan kehidupan Ki Sida Nglamong yang setiap hari menggulung tali dan bermain layang-layang. Layang-layang tersebut diberi lampu berkerudung/berkurung dan di dalamnya terdapat seorang puteri yang cantik. Dengan duduk bersimpuh di atas gunung menghadap ke barat, Ki Sida Nglamong terus-menerus menarik-narik layang-layang agar bisa turun.  Akhirnya layang-layang itu hampir teraih, tetapi tiba-tiba layang-layang itu hilang, sang puteri jelita pun hilang. Bersama itu, Ki Sida Nglamong pun hilang.
Pupuh II, Dhandhanggula
Bait 1-4 (hlm. 139-140)          : hilangnya Ki Sida Nglamong dan Sang Puteri Jelita sebagai perumpamaan bintang dan cahaya yang disinari matahari
Bait 5-6 (hlm.141)                   : manusia sejati hidupnya dengan Tuhan, ilmunya bersama jiwanya
Bait 7-9 (hlm. 141-142)          : ajaran tiga guru, yakni Sunan Kalijaga, Pangeran Tembayat, dan Seh Dumba tentang hidup yang diumpamakan seperti orang yang pergi ke pasar
Bait 10-11 (hlm 143)               :  ajaran  tiga  guru  tentang  kehidupan  sukma  dan zikir
Bait12-13 (hlm. 143-144)       :  ajaran tiga guru tentang lukisan surga yang indah
Bait 14-15 (hlm.144-145)       :  ajaran tiga guru tentang kematian
Bait 16-17 (hlm.145-146)       :  ajaran   tiga   guru   tentang   Tuhan   menguasai manusia
Bait 18-22 (hlm.146-148)       :  ajaran tiga guru tentang keutamaan orang hidup
Bait 23-24 (hlm. 148)              : ajaran  tiga  guru  tentang  perumpamaan  ilmu sebagai benih
Bait 25-27 (148-150)              :  kewajiban orang hidup: sembahyang dan zakat
Bait 28-30 (hlm. 150-151)      : perumpamaan  sembahyang  dikaitkan  dengan empat tahap perjalanan menuju kesempurnaan (hidup) manusia, yakni syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat
Bait 31-32 (hlm. 151)              :  nafsu manusia
Bait 33-35 (hlm. 152-153)      :  hidup sejati menuju kawula-gusti
Bait 36-42 (hlm. 153-155)      : alam-alam tempat manusia yang telah mencapai tahap perjalanan menuju kesempurnaan
Bait 43-46 (hlm. 155-157)      :  kesungguhan salat dan syirik
Bait 47-49 (hlm. 157-158)      :  jalannya  kematian  dari  sembilan  hal dan tempat (tujuan)nya

Pupuh III, Mijil
Bait 1-4 (hlm. 158-159)          :  perimbangan perbuatan lahir dan batin
Bait 5-6 (hlm. 159-160)          : Tuhan mengasihi orang yang baik (berbuat baik)
Bait 7-9 (hlm. 160)                  :  perumpamaan ratu sebagai kalifatullah
Bait 10-11(hlm. 160-161)       :  arti kawula dan punakawan
Bait 12-19 (hlm. 161-163)      :  pengertian wali nabi mukmin
Bait 20 (hlm. 163)               :  menerangkan bahwa suluk ini dari orang pandai, Seh Wahab namanya, kiai dari Tanah Arab











5.1 Deskripsi Naskah
1)      Naskah A
(1) Judul                                            : Babadipun Kangjeng Ratu Kancana Karan Asma Kangjeng Ratu Beruk Prameswari Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun kaping III
(2) Nomor naskah                              : 118 Ka/ KS = 66, SMP 103/4: R 163/36
(3) Tempat penyimpanan naskah       : Perpustakaan Sasono Poestoko        Karaton Kasunanan Surakarta
(4) Asal naskah                                  :  Surakarta
(5) Keadaan naskah                           :  masih utuh / lengkap, dijilid rapi; kertas sudah rapuh karena goresan tulisan yang terlalu keras dan akibat penjilidan yang kurang baik.
(6) Ukuran naskah                             :  17 x 21.5 cm
(7) Ukuran Teks                                :  14 x 15.5 cm, 20 baris, 38 halaman
(8) Aksara                                                             : tulisan Jawa, bentuk agak bulat, tegak dan bagian belakang sedikit miring ke kanan, ukuran kecil dengan jarak tulisan rapat, jelas dibaca. Teks ditulis bolak-balik dengan tekanan tinta yang keras, sehingga beberapa halaman agak sulit dibaca karena aksaranya bertumpuk dengan bayangan sebaliknya.
 (9) Bahan naskah                              : naskah terbuat dari kertas merang bergaris, dengan cover kertas tebal
(10) Bentuk teks                                : puisi/ tembang macapat, terdiri atas 11 (sebelas) pupuh, 305 bait,  yaitu:
                                                            (1) dhandhanggula 20 bait, (2) megatruh 41 bait, (3) sinom 15 bait, (4) asmarandana 26 bait, (5) sinom 26 bait, (6) mijil 30 bait, (7) pucung 29 bait, (8) pangkur 27 bait, (9) maskumambang 37 bait (10) dhandhanggula 23 bait, dan (11) gambuh 31 bait.
(11) Bahasa naskah                           : bahasa Jawa Baru dan banyak disisipi kata-kata Kawi
(12) Umur naskah                              : teks selesai disusun pada hari Sabtu, 20 Madilawal, Alip, l817 Jw atau 8 Agustus 1936 M.
(13) Pengarang/penyalin                    : Raden Mantri Guru Sasrasumarta, Kepala Sekolah SD Mungup, Boyolali  / tidak diketahui
           (14) Asal-usul naskah                         : tidak diketahui
(15) Catatan lain                                :            pada halaman pertama sebelum     memasuki teks terdapat keterangan yang menyebutkan naskah ini disalin dari Surat Kabar Darmakandha nomor 35, tahun l867 J. dan disebutkan pengarangnya adalah Lare Mungup ‘orang dari desa Mungup’.

  (16) Ikhtisar isi cerita                 :    sejarah keraton Surakarta tahun + tahun l750 – l770 M, biografi Kangjeng Ratu Kancana atau Kangjeng Ratu Beruk, permaisuri Paku Buwana III dan ibu dari Paku Buwana IV yang silsilahnya diurutkan dari Sultan Demak. Berikut ini diihtisarkan  cerita BKRB per pupuhnya.
                1-4: Pupuh I Dhandhanggula 20 bait, mengisahkan kehidupan orang tua Rara Beruk, kehamilan, dan mimpi;
5-9: Pupuh II Megatruh 41 bait, menceritakan saat Nyai Jaga hendak melahirkan, kedatangan tamu Nyi Sudiradirja, upacara tradisi selamatan menyambut kelahiran bayi, dan kelahiran bayi;
9 – 12: Pupuh III Sinom 15 bait, menceritakan kehidupan keluarga Ki Jaga yang sudah berkecukupan, menyerahkan perawatan Rara Beruk kepada bibinya Nyi Sudiradirja, pendidikan kewanitaan dari Nyi Sudiradirja untuk Rara Beruk;
12 – 15: Pupuh IV Asmarandana 26 bait,  Nyi Sudira mengabdikan Rara Beruk ke keputren sebagai pelayan permaisuri Paku Buwana III, Sang Raja mengetahui adanya sinar yang dimiliki Rara Beruk, Sang Raja berpesan pada Nyi Sudiradirja untuk merahasiakan keajaiban itu;
15 – 19: Pupuh V Sinom 26 bait,  Ki Sudira  menyarankan pada isterinya untuk meminta kembali Rara Beruk pada permaisuri dengan alasan mau dinikahkan; 
19 – 22: Pupuh VI Mijil 30 bait,  menceritakan kesedihan Sang Raja atas kepergiaan Rara Beruk yang sudah terlanjur dicintainya; 
22 – 25: Pupuh VII Pucung 29 bait, Sang Raja melanjutkan menjalin cinta dengan Rara Beruk; kesedihan permaisuri, dan Sang Raja meminta saran pada Tuwan Residen;
25 –28: Pupuh VIII Pangkur 27 bait, mengisahkan  Sang Raja, Rara Beruk dan keluarga mengungsi ke Loji; permaisuri pulang ke Endranatan untuk meminta saran pada adiknya;
28 – 31: Pupuh IX Maskumambang 37 bait, Tuwan Residen datang ke keputren untuk memberitahu permaisuri bahwa keraton kedatangan musuh, permaisuri disarankan untuk mengungsi, Sang Raja kembali ke keraton dan mengangkat secara resmi Rara Beruk sebagai selir.  
31 – 35: Pupuh X Dhandhanggula 23 bait,  permaisuri sakit keras di Endranatan sampai meninggal dunia; Rara Beruk melahirkan seorang putera, pengangkatan Rara Beruk sebagai permaisuri, pengisahan geneologi Ratu Beruk;
35 –38: Pupuh XI Gambuh 31 bait, menceritakan abdi raja bersuara emas yang bernama Pajangsora, sakitnya Sang Raja sampai meninggal, dan pengangkatan putera mahkota menggantikan kedudukan tahta raja yang bergelar Paku Buwana IV. 

Jumat, 09 April 2010

Wayang karucil or wayang klitik

Wayang klitik figures occupy a middle ground between the figures of wayang golek and wayang kulit. They are constructed similarly to wayang kulit figures, but from thin pieces of wood instead of leather, and, like wayang kulit figures, are used as shadow puppets. A further similarity is that they are the same smaller size as wayang kulit figures. However, wood is more subject to breakage than leather. During battle scenes, wayang klitik figures often sustain considerable damage, much to the amusement of the public, but in a country in which before 1970 there were no adequate glues available, breakage generally meant an expensive, newly made figure. On this basis the wayang klitik figures, which are to appear in plays where they have to endure battle scenes, have leather arms. The name of these figures is onomotopaeic, from the sound klitik-klitik, that these figures make when worked by the dalang.
Wayang klitik figures come originally from eastern Java, where one still finds workshops turning them out. They are less costly to produce than wayang kulit figures.
The origin of the stories involved in these puppet plays comes from the kingdoms of eastern Java: Jenggala, Kediri and Majapahit. From Jenggala and Kediri come the stories of Raden Panji and Cindelaras, which tells of the adventures of a pair of village

Klarifikasi Konsonan

Klasifikasi Konsonan
1. Konsonan Hambat letup ( Stops,Plosives)

Konsonan hambat letup adalah konsonan yang terjadi dengan penuh arus udara kemudian hambatan itu dilepaskan secara tiba-tiba.Menurut tempat hambatannya (artikurkalasinya)konsonan ini dibagi menjadi:

i) Konsonan Hambat letup bilabial (bibir)
Konsonan Hambat letup bilabial terjadi bila penghamba arikulator aktifnya adalah bibir bawah dan articulator pasifnya adalah bibir atas,seperi bunyi [p , b].
Contoh:
Bahasa Jawa : pipa’pipa’ upa’butir nasi’ tetep ‘tetap’

ii) Konsonan Hambat letup apiko-dental
Konsonan hambat letup apiko dental terjadi pabila penghambat artikulatornya pasifnya ialah gigi atas.bunyi yang dihasilkan ialah [t, d].
Contoh:
Bahasa Jawa : tawa ‘tawar’ rata’rata’ papat ‘empat’
Dawa ‘panjang’ rada’agak’

iii) Konsonan Hambat letup apiko-alveolar
Konsonan Hambat letup apiko-alveolar terjadi apabila penghambat arikulator aktifnya adalah ujun lidah dan articulator pasifnya adalah Gusi.Bunyi yang terjadi adalah [t,d].
Contoh ;
Bahasa inggris : town, writing,heart

iv) Konsonan Hambat letup apiko palatal
Konsonan Hambat letup apiko palatal terjadi bila arikulator aktifnya adalah ujung lidah dan articulator pasifnya adalah lengit-langit keras.Bunyi yang terjadi ialah [ţ ,d]
Contoh :
Bahasa Jawa : thukul ‘tumbuh’ cedhak ‘dekat’

v) Konsonan Hambat letup medio-palatal
Konsonan Hambat letup medio-palatal terjadi bila articulator aktifnya adalah tengah lidah dan articulator pasifnya adalah langit-langit keras.Bunyi yang di hasilkan adalh [c, j]
Contoh :
Bahasa Jawa : cara’cara’ jala ‘jaring’



vi) Konsonan Hambat letup dorso –velar
Konsonan Hambat letup dorso –velar terjadi apabila articulator pasifnya lanit-langit lunak.Bunyi yang dihasilkan [k, g]
Contoh :
Bahasa Jawa: kula ‘saya’ saka ‘dari’
Gula’gula’ jaga ‘jaga’

vii) Konsonan Hamzah (Glotal plosive,lotal stop)
Konsonan Hamzah terjadi dengan menekan rapat yang satu terhadap yang lain pada seluruh panjannya pita suara , langit –langit lunak beserta anak tekaknyadikeataskan,sehingga arus udara terhambat untuk beberapa saat. Dengan merapatnya sepasang pita suara maka glottis dalam keadaan tertutup rapa.Secara tiba-tiba kedua selaput pita suara itu dipisahkan,terjadilah letupan udara keluar ,dan terdengar [?].

Contoh:
bahasa Jawa : sa’at [sa?at] ‘saat’ usuk[usu?]


2. Konsonan Nasal (Nasals)
Konsonan nasal (senau) ialah konsonan yan dibentuk dengan menghambat rapat (menutup) jalan udara dari paru-paru melaui rongga hidun,jadi strukurnya rapat.Bersama dengan itu langi-langit lunak besera anak tekaknya diturunkan , sehingga udara keluar melalui ronga hidung.Menurut tempa hambatannya (artikulasinya ) konsonan ini dibedakan menjadi :

i) Konsonan nasal bilabial
Konsonan nasal bilabial terjadi bila penghambat articulator aktifnya ialah bibir bawah dan articulator pasifnya ialah bibir atas.Nasal yang terjadi adalah [m]. Contoh :
Bahasa Jawa : mateng ‘masak’ sami ‘sama’ ulam ‘ikan’

ii) Konsonan Nasal apiko-alveolar
Konsonan Nasal apiko-alveolar terjadi bila penghambat articulator aktifnya adalah ujung lidah dan articulator pasifnya adalah gusi.Nasal yang terjadi ialah [n].
Contoh :
Bahasa Jawa : nangka ‘nangka’ guna ‘guna’ pisan ‘satu kali’

iii) Konsonan Nasal medio-palatal
Konsonan Nasal medio-palatal terjadi bila penghambat articulator aktifnya adalah tengah lidah dan articulator pasifnya adalah langit-langit keras.Nasal yang terjadi ialah [ň].
Contoh : nyata ‘nyata’ lunyu ‘licin’

iv) Konsonan Nasal dorso –velar
Konsonan Nasal dorso –velar terjadi bila penghambat articulator aktifnya adalah pangkah lidah dan articulator pasifnya adalah langit-langit lunak.Nasal yang terjadi ialah [ŋ].
Contoh :
Bahasa Jawa : ngono ‘begitu’ sungu ‘tanduk’ lawang ‘pintu’

3. Konsonan Paduan (Affricates)

Konsonan Paduan adalah konsonan hambat jenis khusus.Proses terjadinya dengan menghambat penuh arus udara dari paru-paru, kemudian hambatan itu dilepaskan secara bergeser pelan-pelan.Jadi strukturnya rapat kemudian dilepaskan secara perlahan.

Tempat artikulasinya ialah ujung lidah dan bagian belakang (langit-langit keras bagian depan atau prepatal). Bunyi yang erjadi adalah paduan apiko – prepatal [t∫, dζ ]
Contoh
Bahasa inggris : awal tengah akhir
Chin ridges ridge

4. Konsonan Sampingan (Laterals)
Konsonan sampingan dibentuk dengan menutup arus udara di tengah ronga mulut sehingga udara keluar dari melalui kedua samping atau sebuah samping saja.Jadi surkurnya rengang lebar.
Tempat artikulasinya ujung lidah dengan gusi.Bunyi yang dihasilkan disebut sampingan apiko-alveolar.bunyi itu ialah [ l ].
Contoh :
Bahasa jawa : Awal tengah Akhir
Lali ‘lupa’ bali ‘pulang’ sambel ‘sambal’


5. Konsonan Geseran atau Frikatif (Fricative,Frictions)
Konsonan eseran atau frikatif ialah konsonan yang dibentuk dengan menyempitkan jalanya arus udara yang dihembuskan dari paru-paru,sehingga jalanya udara terhalang dan keluar dengan bergeser.Jadi strukturnya idak rapat seperti pada konsonan letup tetapi renggang. Menurut tempat hambatannya (artikulasinya ) konsonan ini dibedakan menjadi :





i) Konsonan geseran labio-dental
Konsonan geseran labio-dental terjadi apabila articulator aktifnya adalah bibir bawah dan articulator pasifnya adalah gigi atas.Bunyi yang di hasilkan adalah [f, v].
Contoh:
Bahasa Jawa/Indonesia : foto veteran saraf

ii) Konsonan geseran apiko-dental
Konsonan geseran apiko-dental terjadi apabila articulator aktifnya adalah ujung lidah dan articulator pasifnya adalah gigi atas.Bunyi yang di hasilkan adalah [Ө,ð].
Contoh:
Bahasa inggris: thank nothing both


iii) Konsonan geseran apiko-palatal
Konsonan geseran apiko-palatal terjadi apabila articulator aktifnya adalah ujung lidah dan articulator pasifnya adalah langit-langit keras.Bunyi yang di hasilkan adalah [ŗ].
Contoh:
Bahasa inggris: Run very arround


iv) Konsonan geseran lamino-alveolar
Konsonan geseran lamino-alveolar terjadi apabila articulator aktifnya adalah daun lidah ujung lidah sedangkan articulator pasifnya adalah gusi.Bunyi yang di hasilkan adalah [s,z].
Contoh:
Bahasa Jawa : sangu’bekal’ alas ‘hutan’ ijazah

v) Konsonan geseran apiko prepalatal
Konsonan geseran apiko prepalatal terjadi apabila articulator aktifnya adalah ujung lidah dan articulator pasifnya adalah gusi.Bunyi yang di hasilkan adalah [∫, ].
Contoh:
Bahasa Inggris: Shop Nation wash


vi) Konsonan geseran dorso-velar
Konsonan geseran dorso-velar terjadi apabila articulator aktifnya adalah pangkal lidah dan articulator pasifnya adalah langit-langit lunak.Bunyi yang di hasilkan adalah [X].
Contoh:
Bahasa Jawa : Ikhtiar Syekh

vii) Konsonan geseran laringal
Konsonan geseran laringal terjadi apabila articulatornya adalah sepasang pita suara.Udara yang melalui paru-paru pada waktu melewati glottis digeserkan.Glotis yang terbuka kemudian menghasilkan bunyi [h].
Contoh:
Bahasa Jawa : hawa tuhu’setia’ sayah ‘lelah’


6. Konsonan Getar (Trills,Vibrants)
Konsonan getar atau geletar ialah konsonan yang dibentuk dengan menghambat jalannya arus udara yang dihembuskan dari dari paru-paru secara-berulang-ulang dan cepat.Jadi strukturnya rapat renggang. Menurut tempat hambatannya (artikulasinya ) konsonan ini dibedakan menjadi :


i) Konsonan getar apiko alveolar
Konsonan getar apiko alveolar terjadi bila artikulator aktif yang menyebabkan proses menggetar itu ialah ujung lidah dan artikulator pasifnya adalah gusi.Bunyi yang dihasilkan adalah [r],
Contoh :
Bahasa Jawa : rada ‘agak’ para’para’ pasar ‘pasar’

ii) Konsonan getar uvular
Konsonan getar uvular terjadi adalah artikulatornya aktif yang menyebabkan bergetarnya udara itu ialah pangkal lidah (lidah belakang) dan artikulator pasifnya ialah anak tekak.Bunyi yang dihasilkan ialah [ R ]
Contoh :
Bahasa Prancis : rue [Ry] ‘jalan’ Oral [oRal]

7. Konsonan Sentuhan (tap)
Konsonan sentuhan ialah konsonan yang pembentukannya hampir sama dengan getar tetapi proses bergetar itu hanya terjadi satu kali.Jadi strukturnya rapat renggang pendek sekali.
Tempat artikulasinya ialah ujun lidah dan gusi belakang atau langit-langit.Bunyi yang dihasilkan disebut sentuhan (tap) apiko-alveolar,dilambangkan dengan [ﻠ]
Contoh :
bahasa Tamil: [aﻠam] ‘melihat’
[aram] ‘amal’

8. Konsonan Sentuhan kuat (flap)



9. Konsonan Semi vocal
Menurut tempat hambatannya (artikulasinya ) konsonan ini dibedakan menjadi :

i) Semi vocal bilabial dan labio-dental
Semi vocal bilabial terjadi bila articulator aktifnya adalah bibir bawah dan articulator pasifnya adalah bibir atas,bunyi yang terjadi ialah [w]bilabial.Dapat jua bibir bawah bekerja sama dengan gigi atas,yan terjadi adalah [w] labio-dental.
Contoh :
Bahasa Jawa : watu ‘batu’ awu ‘abu’

ii) Semi vocal medio-palatal
Semi vokal medio-palatal terjadi bila articulator aktifnya ialah tengah lidah dan articulator pasifnya adalah lanit-langit keras.Bunyi yan terjadi adalah [y].
Contoh :
Bahasa Jawa : yen ‘apabila’ ayu ‘cantik’

ILmu Sosial Dan Budaya

I. PENDAHULUAN

a. Visi ISBD

Berkembangnya mahasiswa sebagai manusia terpelajar yang kritis, peka, dan arif dalam memahami keragaman dan kesederajatan manusia yang dilandasi nilai-nilai estetika, etika dan moral dalam berkehidupan bermasyarakat.


b. Misi ISBD

Memberikan landasan dan wawasan yang luas ,serta menumbuhkan sikap kritis, peka, dan arif pada mahasiswa untuk memahami keragaman dan kederajatan manusia dalam kehidupan bermasyarakat selaku individu dan makhluk sosial yang beradab serta bertanggung jawab terhadap sumber daya dan lingkungannya.

c. Tujuan ISBD

1. Mengembangkan kesadaran mahasiswa menguasai pengetahuan tentang keanekaragaman dan kesederajatan manusia sebagai individu dan makhluk sosial dalam berkehidupan bermasyarakat

2. Menumbuhkan sikap kritis, peka dan arif dalam memahami keragaman dan keserajatan manusia dengan landasan nilai estetika , etika dan moral dalam kehidpan bermasyarakat.

3. Memberikan landasan pengetahuan dan wawasan yang luas serta keyakinan kepada mahasiswa sebagai bekal bagi hidup bermasyarakat, selaku individu dan makhluk sosial yang beradab dalam mempraktekkan pengetahuan akademik dan keahliannya





2. MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK BUDAYA

Membahas tentang manusia sebagai makhluk budaya yang berkemampuan menciptakan kebaikan, kebenaran keadilan dan bertanggung jawab. Sebagai makhluk berbudaya, manusia mendayagunakan akal budinya untuk menciptakan kebahagiaan, baik bagi dirinya maupun bagi masyarakat demi kesempuranaan hidupnya


Tujuan : diharapkan mahasiswa mampu memahami konsep-konsep dasar tentang konsep manusia sebagai makhluk budaya serta memahami konsep tersebut dijadikan dasar pengetahuan dalam mempertimbangkan dan menyikapi berbagai problematika budaya yang berkembang dalam masyarakat.

Pokok bahasan meliputi:

1. Fungsi akal dan budi bagi manusia
2. Pengertian budaya dan kebudayaan
3. Manusia sebagai pencipta kebudayaan
4. Memanusiakan manusia melalui pemahaman konsep;
i. Keadilan
ii. penderitaan
iii. cinta kasih
iv. tanggung jawab
v. pengabdian
vi. Pandangan hidup
vii. Keindahan
viii. kegelisahan
5. Proses pembudayaan melalui internalisasi, sosialisasi, enkulturasi, difusi, akulturasi dan asimilasi
6. Perubahan kebudayaan dari lokal menuju global






3. Manusia dan Peradaban

Tujuan pembelajaran : agar mahasiswa mampu memahami dirinya sebagai makhluk yang beradab serta meyakini bahwa peradaban merupakan wujud kebudayaan sebagai hasil kreativitas manusia, sekaligus mempengaruhi serta menjadi pedoman bagi hidupnya

Pokok bahasan : pengertian adab dan peradaban;
- pengertian manusia sebagai makhluk beradab dan masyarakat adab;
- evolusi dan tahapan-tahapan peradaban;
- perubahan sosial dan peradaban;
- wujud-wujud peradaban; tradisi, modernisasi dan masyarakat madani; keamanan, ketenangan, kenyamanan, ketenteraman dan kedamaian sebagai makna hakiki manusia yang beradab

4. Manusia sebagai Individu dan Makhluk sosial

Tujuan yang diharapkan ; mahasiswa menyadari posisinya sebagai individu dan makhluk sosial serta memahami tugas dan kewajibannya dalam setiap tatanan kehidupan berkelompok dan dalam setiap struktur dan system sosial yang ada


5. Manusia, keragaman dan kesederajatan

Tujuan agar mahasiswa mampu memahami dan mampu menyikapi dengan arif tentang keanekaragaman suku bangsa,ras, agama dan budaya yang ada di sekitsarnya sebagai suatu dinamika kehidupan masyarakat yang bersifat alamiah.

Pokok bahasan meliputi; pengertian suku bangsa dan ras, agama dan keyakinan; ideology dan politik; adat dan kesopanan; kesenjangan ekonomi; kesenjangan sosial; pengaruh keragaman terhadap kehidpan beragama, bermasyarakat, bernegara dan kehidupan global; kesederajatan dan diskriminasi, persaingan, tekanan/intimidasi dan ketidakberdayaan sebagai faktor terjadinya diskriminasi sosial, integrasi dan disintegrasi, bhineka tunggal ika sebagai salah satu upaya mengatasi keragaman sosio kultural

6. Manusia moralitas, dan hukum

Manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk berbudaya pada dasarnya dipengaruhi oleh nilai-nilai kemanusiaan. Nilai tersebut baik berupa etika yang erat hubungannya dengan moralitas maupun estetika yang berhubungan dengan rasa keindahan.

Tujuan; agar mahasiswa memiliki kepekaan moral serta mentaati hukum yang berlaku dalam kehidupan sebagai pribadi, anggota keluarga dan anggota masyarakat
Pokok bahasan; nilai moral sebagai sumber budaya dan kebudayaan; moralitas dan norma masyarakat dan negara; pengertian moral, etika, norma dan hukum serta terbentuknya nilai, etika, moral, norma dan hukum tersebut, serta perwujudannya; tuntutan dan sangsi moral, norma, hukum dalam bermasyarakat dan bernegara.

7. Manusia sains dan teknologi

Tujuan ; mahasiswa mampu memahami perannya dalam pengembangan IPTEK, bsagaimana pengaruh IPTE bgi dirinya dan masyarakat serta bagaimana manusia mendewasakan IPTEK dan bila mengembangkan IPTEK tanpa dilandasi nilai-nilai etis dan religius.

Pokok bahasan: manusia dalam IPTEK dan IPTEK bagi manusia; perkembangan IPTEK dalam pembangunan dan lingkungan; bagaimana IPTEK dalam era globalisasi serta bagaimana pengembangan IPTEK tanpa muatan nilai etis dan religius


8. Manusia dan Lingkungan

tujuan : mahasiswa memahami perannya dalam pengembangan dan pemeliharaan llingkungan, bagaimana pengaruh lingkungan bagi diri dan masyarakatnya, serta bagaimana bila manusia mengembangkan lingkungan tanpa dilandasi nilai-nilai moral, etika dan religi

Pokok bahasan : hakikat manusia sebagai objek dan subyek lingkungan, manusia lingkungan alam, dan lingkungan sosial budaya, pengaruh timbal balik antara kondisi lingkungan alam dan konsisi sosial budaya; pertambahan penduduk dan problematiknya dalam meningkatkan kesejahteraan hidup manusia serta analisis dampak lingkungan dan analisi resiko lingkungan.


PENGANTAR

A. Lingkup Kajian Ilmu Sosial dan Budaya Dasar
1. Kelompok Ilmu Pengetahuan

Untuk memahami Ilmu Sosial dan Budaya Dasar termasuk kelompok ilmu pengetahuan yang perlu dipahami dahulu pengelompokan ilmu pengetahuan. Menurut Prof Dr. Harsya Bachtiar ( 1981 ) ilmu pengetahuan dapat dikelompokkan menjadi 3 ( tiga ) kelompok besar yaitu; kelompok ilmu alamiah ( natural sciences), kelompok ilmu sosial ( social sciences ), dan kelompok pengetahuan budaya ( the humanities)

1. Kelompok Ilmu Alamiah

Kelompok Ilmu Alamiah bertujuan untuk memahami keteraturan yang terdapat dalam alam semesta. Untuk mengkaji hal itu, maka digunakan metode ilmiah. Caranya adalah menentukan hukum yang berlaku mengenai keteraturan itu, kemudian dibuat analisis guna menentukan suatu kualitas. Hasil analisis kemudian digeneralisasikan kemudian dibuat prediksi. Hasil penelitiannya 100 % benar atau 100% salah. Termasuk kelompok ilmu alamiah antara lain; astronomi, fisika, biologi, kedokteran dan mekanika.


2. Kelompok Ilmu Sosial
Kelompok Ilmu Sosial bertujuan untuk memahami keteraturan yang terdapat dalam hubungan antarmanusia. Untuk mengkaji hal itu, maka digunakan metode ilmiah sebagai pinjaman dari ilmu alamiah. Akan tetapi , hasil penelitiannya tidak mungkin 100% benar, hanya mendekati kebenaran dan tidak pula 100% salah. Sebabnya adalah keteraturan dalam hubungan antarmanusia itu dapat berubah dari waktu ke waktu. Termasuk kelompok Ilmu Sosial antara lain adalah ekonomi, sosiologi, politik, demografi, psikologi, antropologi sosial, dan sosiologi umum.

3. Kelompok Pengetahuan Budaya
Kelompok pengetahuan budaya bertujuan untuk memahami dan mencari arti kenyataan-kenyataan yang bersifat manusiawi. Untuk mengkaji hal itu digunakan metode pengungkapan peristiwa dan pernyataan yang bersifat unik, kemudian diberi arti. Peristiwa dan pernyataan itu pada umumnya terdapat dalam tulisan-tulisan. Metode ini tidak ada sangkut pautnya dengan metode ilmiah, hanya mungkin ada pengaruh dari metode ilmiah.
Termasuk kelompok pengetahuan budaya antara lain adalah; filsafat, seni ( sastra, tari, rupa, musik, suara, lukis, patung dsbnya), sejarah, hukum, agama, antropologi budaya.

Berdasarkan pengelompokan Ilmu dan pengetahuan di atas ilmu sosial dan Budaya Dasar di satu sisi termasuk dalam kelompok Ilmu Sosial dan sisi lain termasuk kelompok pengetahuan budaya. Oleh karena itu metode pendekatannya menggunakan pendekatan gabungan ( combined approach ) yaitu di satu sisi pendekatan terhadap manusia sebagai mahluk sosial dan interaksi dalam kelompok sosialnya, di sisi lain pendekatan terhadap manusia makhluk budaya dan kemanusiaan.
Manusia makhluk sosial ( zoon politicon ) kodrati artinya manusia sebagai individu tidak akan mampu hidup sendiri dan berkembang sempurna apabila tidak hidup dengan individu manusia lain. Sejak lahir manusia sudah dapat hidup bersama, setidak-tidaknya dengan ibu dan ayahnya yang memelihara dan melindunginya. Keharusan hidup bersama itu karena manusia mempunyai kebutuhan yang hanya dapat dipenuhi apabila berhubungan dengan atau mendapat bantuan dari manusia lain. Dengan kata lain, manusia harus hidup bermasyarakat
Artinya saling berhubungan dan berinteraksi satu sama lain dalam kelompoknya maupun terhadap individu di luar kelompoknya guna memperjuangkan dan memenuhi kepentingan hidupnya.
Di sisi lain , manusia makhluk budaya adalah juga kodrat, artiya sejak lahir sudah menjadi makhluk yang paling sempurna karena dibekali oleh Sang Pencipta dengan akal, perasaan dan kehendak yang membedakannya dengan makhluk hewan.
Sebagai mahkluk budaya, manusia hanya mampu mengembangkan diri dan budayanya apabila hidup bersama dan berhubungan dengan manusia lain. Dalam hubungan tersebut, manusia mempertimbangkan mana yang benar dan salah, mana yang baik dan buruk, serta mana yang bermanfaat dan merugikan. Pertimbangan ini merupakan awal terjadinya suatu sistem nilai budaya yang menjadi norma kehidupan bersama. Pengetahuan budaya ( the humanities) mengkaji masalah nilai manusia sebagai makhluk budaya ( homo humanus ).



2.DUA UNSUR UTAMA

Ilmu Sosial Budaya Dasar merupakan salah satu mata kuliah yang termasuk mata kuliah umum yang diajarkan di lingkungan perguruan tinggi. Sesuai dengan namanya, mata kuliah ini merupakan mata kuliah dasar yang mendasari mata kuliah lainnya dalam lingkup ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Mata kuliah ini terdiri dari 2 ( dua ) unsur utama
Yaitu unsur sosial budaya dan unsur kedua unsur kemanusiaan ( humaniora). Unsur sosial budaya meliputi tema mengenai manusia sosial ( zoon politicon ) dan perkembangan kebudayaan melingkupi kajian:
a. bentuk kelompok sosial budaya
b. Kebudayaan dan Peradaban
c. Sistem nilai budaya dan pandangan hidup
d. Perubahan sistem nilai budaya
e. akibat perubahan sistem nilai budaya

Unsur kedua adalah kemanusiaan ( humaniora). Unsur ini meliputi tema mengenai manusia makhluk budaya dan nilai kemanusiaan mengkaji masalah-masalah :
a. Hakikat manusia sama ( universal )
b. Kebutuhan hidup manusia
c. Sikap dan Perilaku manusia
d. Kehidupan manusiawi dan tidak manusiawi
e. Upaya-upaya memanusiakan manusia




B. TUJUAN ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR

1. Tujuan Umum

Secara umum, ISBD bertujuan untuk mengembangkan kepribadian manusia sebagai makhluk sosial dan sebagai mahkluk budaya, sehingga mampu menanggapi secara kritis dan berwawasan luas masalah sosial dan masalah lingkungan sosial budaya, serta mampu menyelesaikan secara halus, arif dan manusiawi masalah-masalah tersebut. Tujuan umum ISBD mengandung 3 ( tiga ) rumusan utama yaitu
1. Pengembangan kepribadian manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk budaya
2. Kemampuan menanggapi secara kritis dan berwawasan luas masalah sosial budaya dan masalah lingkungan sosial budaya
3. Kemampuan menyelesaikan secara halus, arif dan manusiawi masalah-masalah tersebut.

Manusia makhluk sosial artinya manusia harus hidup dengan manusia lain dalam masyarakatnya untuk memenuhi kepentingan hidupnya dan dapat berkembang sempurna
Manusia sebagai makhluk budaya artinya manusia itu makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, karena sejak lahir sudah dibekali dengan unsur akal ( ratio), rasa ( sense), dan karsa ( will,wish) yang membedakan dengan makhluk hewan.. Sebagai makhluk budaya manusia hanya mampu mengembangkan diri dan budayanya apabila berhubungan dengan manusia lain. Dalam hubungan tersebut dapat membedakan mana yang benar, mana yang baik, mana yang bermanfaat dan mana yang merugikan. Pertimbangan ini merupakan dasar terjadinya sistem nilai budaya yang menjadi norma ( pedoman ) hidup bermasyarakat.
Tanggapan kritis artinya reaksi akal atau daya tangkap berdasarkan nalar yang tinggi terhadap sesuatu yang dilihat atau didengar dalam masyarakat. Dalam konteks dengan sosial budaya tanggapan kritis merupakan kemampuan memahami suatu masalah guna membedakan secara obyektif mana peristiwa yang bersumber dari perbuatan tidak manusiawi yang dapat memicu konflik dalam masyarakat, dan mana peristiwa yang bersumber dari bencana alam atau penyakit, yang perlu diatasi dan dihindari. Kemudian secara kritis dapat dikaji juga solusi yang terbaik guna menghindari atau mengatasi konflik secara arif dan manusiawi.
Wawasan luas artinya memandang jauh ke depan berdasarkan pemikiran yang dalam dan mendasar. Dalam konteks sosial budaya pandangan luas dan jauh daya jangkau tidak hanya terhadap masalah sosial budaya yang terjadi dalam kelompoknya, tetapi meliputi lingkup yang lebih luas untuk masa mendatang. Tidak hanya berskala lokal dan sektoral, tetapi juga berskala nasional dan terpadu mengenai masalah sosial budaya bangsa Indonesia.
Masalah sosial budaya adalah peristiwa atau kejadian yang timbul akibat interaksi sosial dalam kelompok masyarakat atau antara kelompok masyarakat guna memenuhi kepentingan hidup, yang dianggap merugikan salah satu pihak atau masyarakat secara keseluruhan. Masalah tersebut bersumber pada perbedaan sosial budaya yang dianggap merugian kepentingan pihak lain, sehingga dapat memicu terjadinya konflik.
Lingkungan sosial budaya adalah kelompok sosial budaya yang hidup dalam batas-batas tertentu yang ditata berdasarkan norma sosial budaya yang membedakannya dengan lingkungan alam.Lingkungan sosial budaya antara lain berupa keluarga, desa, marga, kota, lembaga Swadaya Masyarakat dan kelompok profesi. Sedangkan lingkungan alam berupa cagar budaya, taman margasatwa dan hutan lindung.
Masalah lingkungan sosial budaya merupakan peristiwa atau kejadian yang timbul karena perbuatan tidak manusiawi yang merugikan warga lingkungan sosial budaya atau lingkungan alam. Masalah tersebut bersumber pada perbuatan tidak manusiawi yang merugikan pihak lain, sehingga dapat memicu terjadinya konflik. Perbuatan tidak manusiawi antara lain dapat dipahami melalui konflik warga lingkungan sosial budaya berupa pembunuhan dukun santet pada era orde baru


2. Tujuan Khusus

a. Mempertajam kepekaan terhadap masalah sosial budaya dan lingkungan sosial budaya terutama untuk kepentingan profesi
b. Memperluas pandangan tentang masalah sosial budaya dan masalah kemanusiaan serta mengembangkan kemampuan daya kritis terhadap kedua masalah tersebut.
c. Menghasilkan calon pemimpin bangsa dan negara yang tidak bersifat kedaerahan dan tidak terkotak-kotak oleh disiplin ilmu yang ketat dalam menanggapi dan menangani masalah nilai-nilai dalam lingkungan sosial budaya
d. Meningkatkan kesadaran terhadap nilai manusia dan kehidupan manusiawi
e. Membina kemampuan berpikir dan bertindak obyektif untuk menangkal pengaruh negatif yang dapat merusak lingkungan sosial budaya

ad.a Peka terhadap sosial budaya dan lingkungan sosial budaya
Artinya cepat tanggap, mudah bereaksi, sikap segera ingin tahu, dan kepedulian yang tinggi tentang peristiwa sosial budaya di sekitarnya dan kondisi lingkungan sosial budaya dimana seseorang itu hidup atau berada.
Setiap peristiwa sosial budaya yang unik dan mencolok cepat ditanggapi dan diupayakan penyelesaiannya umumnya menyangkut kepentingan umum dan nasib orang banyak al peristiwa korupsi, peledakan bom, pengoplosan bahan bakar minyak, peredaran narkoba dan perbuatan maksiat (miras, judi dan tuna susila)

Ad b.Pandangan luas dan kritis ttg masalah sosial budaya dan kemanusiaan
Upaya yang dilakukan adalah memperluas wawasan pemikiran terhadap masalah sosial budaya dan masalah kemanusiaan. Tidak hanya terjadi dalam kelompoknya/keluarganya,kelompok profesi dan organisasi kemasyarakatan pada masa sekarang, tetapi juga meliputi yang lebih luas untuk masa mendatang.
Tidak hanya berskala lokal, sektoral, tetapi juga bersifat nasional dan terpadu yaitu masalah sossial budaya dan masalah kemansiaan bangsa Indonesia.
Kemampuan daya kritis adalah kemampuan memahami dengan daya tangkap yang rasional berdasarkan penalaran yang tinggi terhadap masalah sosial budaya dan kemanusiaan yang terjadi dalam masyarakat.
Pemahaman kritis y.i untuk membedakan secara obyektif mana peristiwa yang dianggap masalah sosial yang bersumber dari perbedaan sosial budaya dan mana peristiwa yang dianggap masalah kemanusiaan yang bersumber dari perbuatan tidak manusiawi.

c. Kesadaran Terhadap Nilai Manusia dan Kehidupan
Manusiawi

ISBD bertujuan meningkatkan kesadaran terhadap nilai manusia dan kehidupan manusiawi.
Ada banyak menanggapi manusia lain serta lingkungan hidupnya secara tidak manusiawi, mengabaikan nilai manusia lain guna memenuhi kepentingan sendiri, bertindak kasar, sewenang-wenang, menyakiti, membuat orang menderita, manusia lain dianggap obyek.
Manusia adalah mahkluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Kesempurnaan itu dibuktikan oleh akal, perasaan dan kehendak yang membedakannya dengan mahkluk lain.
Perbuatan manusia didasari oleh akal, perasaan dan kehendak secara manusiawi. Manusia mempunyai nilai yang bersumber kesempurnaan sebagai mahkluk berbudaya.
Manusia dapat membedakan mana yang benar dan salah, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang bermanfaat dan mana yang merugikan. Manusia yang berni-lai adalah manusia yang selalu mengarahkan setiap tingkah laku dan perbuatannya pada kebenaran, kebaikan dan kemanfaatan bagi semua. Tetapi kenyataan dalam kehidupan manusia ada yang menanggapi manusia lain serta lingkungan hidupnya secara tidak manusiawi mengabaikan nilai-nilai manusia lain untuk memenuhi kepentingan sendiri

d. Kemampuan berfikir dan bertindak obyektif

ISBD bertujuan membina kemampuan berfikir dan bertindak obyektif guna menangkal pengaruh negatif yang merusak lingkungan sosial budaya
Berfikir obyektif artinya bernalar secara sehat untuk menetapkan suatu putusan benar dan salah.
Bertindak obyektif artinya bertindak sesuai dengan hasil berfikir obyektif ( benar atau salah )
Orang yang mampu berfikir obyektif akan mampu pula memahami secara obyektif akibat yang mempengaruhi lingkungan sosial budaya, mungkin berakibat positif dan mungkin berakibat negatif. Atas dasar keadaan ini, dia akan mampu pula memperkirakan kemungkinan yang terjadi dan membedakan kenyataan yang terjadi mana yang akibat positif dan mana yang akibat negatif, serta menentukan tindakan yang dilakukan guna mengatasi masalah.



e. Calon pemimpin bangsa

ISBD bertjuan untuk merintis menghasilkan calon pemimpin bangsa dan negara yang tidak hanya berpandangan kedaerahan berskala lokal, tetapi juga berpandangan luas berskala nasional serta berbasis keahlian professional.
Pandangan luas, kepedulian yang tinggi serta peka terhadap peristiwa atau kenyataan yang terjadi dalam masyarakat sangat dibutuhkan guna memelihara perdamaian, kestabilan memajukan kesejahteraan umum ( sosial) dan mencerdaskan kehidupan bangsa.





2. MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK BUDAYA

Topik ini akan membahas manusia sebagai makhluk budaya yang berkemampuan menciptakan kebaikan, kebenaran, keadilan dan bertanggung jawab. Sebagai makhluk berbudaya, manusia mendayagunakan akal budinya untuk menciptakan kebahagiaan, baik bagi dirinya maupun bagi masyarakat demi kesempurnaan hidupnya.
Tujuan pembelajaran yang diharapkan adalah agar mahasiswa mampu memahami konsep-konsep dasar tentang manusia sebagai makhluk budaya serta pemahaman konsep tersebut dijadikan dasar dalam mempertimbangkan dan menyikapi berbagai problematika budaya yang berkembang dalam masyarakat
Kebudayaan dalam kaitannya dengan ilmu sosial dan budaya dasar adalah pencipta, penertiban dan pengolahan nilai-nilai insani; tercakup di dalamnya usaha memanusiakan diri di dalam alam lingkungan, baik fisik maupun sosial. Nilai-nilai ditetapkan atau dikembangkan sehingga sempurna. Tidak memisah-misahkan dalam membudayakan alam, memanusiakan hidup, dan menyempurnakan hubungan insani. Manusia memanusiakan dirinya dan memanusiakan lingkungan dirinya.
I. INVENTARISASI NASKAH BABAD NGAYOGYAKARTA
Katalog Induk
Naskah – Naskah Nusantara
Jilid 1
MUSEUM
SONO BUDOYO
Yogyakarta
Di Suntng Oleh
Dr. T.E Behrend

1. S104 BABAD GIYANTI DUMuGI GEGER INGGRISAN, JUMENENGAN HB III
SB 89 1322. Bhs Jawa Aks Jawa Macapat Rol 26 no. 1
Kronik sejarah kerajaan Yogyakarta, mulai dengan peperangan Mangkubumi sampai dengan pengangkatan HB III oleh Inggris (1812)

2. S105 BABAD NGAYOGYAKARTA (Jilid 1)
SB 135 815 Bhs. Jawa Aks Jawa Macapat Rol 18 no. 1
Kronik sejarah Kraton Yogyakarta mulai dari penobatan HB II sampai denga HB IV. Menurut keterangan P.B.R Carey naskah ditulis tanggal 31 Januari 1876.

3. S 105a BABAD NGAYOGYAKARTA (Jilid 1)
SB 175 795 Bhs Jawa Aks Latin Macapat Rol 18 No. 2
Babad ini merupakan hasil transliteraisi dari babad Ngayogyakarta, ilid 1 yang dibuat oleh K.R.T Puspaningrat, tahun 1973.





4. S 106 BABAD NGAYOGYAKARTA (Jilid 2)
SB 136 67 Bhs Jawa Aks Jawa Macapat Rol 18/19 n0. 3/1
Kronik sejarah Kraton Ngayogyakarta sejak jatuh ke tangan Inggris, kecurangan colonel Van den Broeg dari pemerintah Hindia – Belanda sampai dengan laporan Residen Domis ke Batavia dan Jendral Van Geen

5. S 107 BABAD NGAYOGYAKARTA (Jilid 3)
SB 144b 840 Bhs Jawa Aks Jawa Macapat Rol 19 no 2
Kronik sejarah Kraton Yogyakarta mulai dengan penumpasan brandal Demak, perang Diponegoro, perundingan Magelang akhir Perang Diponegoro. Diakhiri Pisowanan HB V. Pengambilan isteri Putra Suryengalegan. Pengangkatan Bupati Riya Jaganegara.

6. S 109 BABAD NGAYOGYAKARTA : HB II – HB V
SB A.280 401 Bhs Jawa Aks Jawa Macapat Rol 16 no. 4
Cerita sejarah mulai dari pemerintahan HB III sampai pengepungan Diponegoro di Slarong. Dalam pemerintahan HB II terjadi hubungan dengan Deandels. Penyerahan tahta HB II kepada HB III. Kedatangan Raffles di Jawa, pemberontakan Sepei. Masa pemerintahan PB IV, pemerintahan HB V.

7. S 110 BABAD NYAYOGYAKARTA : HB II
SK 113 838 Bhs Jawa Aks Jawa Macapat Rol 26 no 2
Cerita sejarah kerajaan Yogyakarta mulai dengan Mangkunegara pulang ke Yogyakarta, dan sejarah ini berakhir dengan perjalanan Gubernur Jendral ke Yogyakarta dan Surakarta

8. S 111 BABAD NGAYOGYAKARTA : HB IV DUMUGI HB VI
SK 96 1321 Bhs Jawa Aks Jawa Macalat Rol 27 no. 1
Sejarah Keraton Yogyakarta mulai dengan penobatan HB IV di benteng Vredeburg tanggal 3 September 1814 Perang Sepei (1812) perbedaan antara wali HB V. naskah diakhiri dengan perayaan pernikahan HB V pada tahun 1835.

9. S 112 BABAD HAMENGKUBUWANA IV DUMUGI V
SB 169 720 Bhs Jawa Aks Jawa Macapat Rol 17 no. 3
Sejarah HB IV sampai dengan Tuwan Ingen dan Komisaris Nahuys bersama-sama Mangkunegaran menyerang Bojonegara (Perang Diponegara)

10. S 115 BABAD NGAYOGYAKARTA SAHA SANES – SANESIPUN
PB G.54 726 Bhs Jawa Aks Latin Macapat Rol 11 no.1
Naskah terdiri empat teks yang berbeda-beda yaitu babad Ngayogyakarta : HB V (1-707), Cariyos ing Krakal (707 – 711), Serat Silsilah HB I – HB IV (712 – 718), Pepali Ki Ageng Sela (718 – 727)

11. S 116 BABAD NGAYOGYAKARTA : HB V SUMUGI VII
SB 141a Bhs Jawa Aks Jawa Macapat Rol 25 no. 1
Kronik Kraton Yogyakarta dalam masa 1846 – 1877 M sampai Jumenengan HB VII. Diceritakan pula peristiwa penting di Kraton Surakarta

12. S 117 BABAD NGAYOGYAKARTA : HB V DUMUGI VII
SB 1416 597 Bhs Jawa Aks Jawa Macapat Rol 24 No. 3
Kronik Kraton Yogyakarta dalam masa 1875 – 1886 sampai pembuangan P Jayakusuma seorang putra HB VII (1887) ke luar Jawa.






II. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara
Jilid 2
KRATON
YOGYAKARTA
Disusun oleh Jennifer Linsay, R.M Soetanto
Dan Alan Feinstein

1. W. 75a BABAD NGAYOGYAKARTA : HAMENGKUBUWANA I, JILID 1
A.88 141 hlm Bhs Jawa Aks Latin Mcpt Rol 117.13
Menceritakan peristiwa ratu Bendara yang hamper menjerumuskan kembali ke dalam peperangan antara Sultan HB I dan Mangkunegara I

2. W. 75b BABAD NGAYOGYAKARTA : HAMENGKUBUWANA I, JILID 2
A. 89 98 hlm Bhs Jawa Aks Latin Mcpt Rol 117.14
Naskah ini merupakan lanjutan dari W.75a. Penyalinan di Jakarta, selesai tanggal 22 November 1944

3. W.78 BABAD NGAYOGYAKARTA : HAMENGKUBUWANA I DUMUGI HAMENGKUBUWANA III
A.27 1330 hlm Bhs Jawa Aks Jawa Mcpt Rol 52.01
Sejarah kerajaan Yogyakarta, mulai dari pembagian daerah kekusaan Surakarta sesuai perjanjian Giyanti (17550 mencakup pemerintahan HB I sampai jatuhnya Kraton Yogyakarta

4. W.80 BABAD NGAYOGYAKARTA : HAMENGKUWANA II DUMUGI HAMENGKUBUWANA III ( P RANG SPHI)
A.80 334 hlm Bhs Jawa Aks Jawa Mcpt Rol 43.03
Sejarah kerajaan Yogyakarta dibawah HB I, HB II, HB III. Teks mencakup pemerintahan HB I, perang Sepehi, jatuhnya Kraton Yogyakarta, pembuangan HB II ke Pulau Pinang, pengangkatan HB III oleh Raffles.

5. W.82 BABAD NGAYOGYAKARTA : HAMENGKUBUWANA II DUMUGI PERANG SEPEHI
A.58 536 hlm Bhs Jawa Aks Jawa Mcpt Rol 44.03
Sejarah kerajaan Yogyakarta semasa pemerintahan HB II dan HB III. Salinan ini tanggal 7 April – 3 Mei 1838. Pada sampul tertulis

6. W.83 BABAD NGAYOGYAKARTA : HAMENGKUBUWANA III DUMUGI HAMENGUBUWANA IV
A.38 307 hlm Bhs Jawa Aks Jawa Mcpt Rol 43.04
Sejarah kerajaan Yogyakarta dibawah HB III dan HB IV. Naskah ditulis atas prakarsa HB V mulai 12 April – 26 Juni 1847

7. W.84 BABAD NGAYOGYAKARTA : HAMENGKUBUWANA III DUMUGI HAMENGKUBUWANA III
A.22 204 hlm Bhs Jawa Aks Jawa Mcpt Rol 43.05
Sejarah kerajaan Yogyakarta dibawah HB III dan HB IV. Teks ini juga disebut Babad Krajan. Naskah disalin atas prakarsa HB V mulai 8 Agustus – 31 Desember 1854

8. W.85 BABAD NGAYOGYAKARTA : HAMENGKUBUWANA IV DUMUGI HAMENGKUBUWANA V
A.87 928 hlm Bhs Jawa Mcpt Rol 121.02
Sejarah kerajaan Yogyakarta dibawah pemerintahan HB IV dan HB V. Teks ditulis atas prakarsa HB VI mulai 24 April 1869



9. W.85a BABAD NGAYOGYAKARTA : HAMENGKUBUWANA IV DUMUGI V
A.87a 1,028 hlm Bhs Jawa Aks Jawa Mcpt Rol 95.04
Mengisahkan kerajaan Yogyakarta pada masa pemerintahan HB IV dan HB V. Naskah disalin pada tahun 1917

10. W.87 BABAD NGAYOGYAKARTA : HAMENGKUBUWANA V
A.67 572 hlm Bhs Jawa Aks Jawa Mcpt Rol 44.05
Sejarah kerajaan Yogyakarta di bawahn HB V mulai dengan perwalian sebelum raja dewasa selesai dengan HB V jatuh sakit keras
JENIS FONETIK

Menurut segi bunyi bahasa yang diselidiki, Fonetik dapat di bagi menjadi tiga jenis, yaitu :
1. Fonetik Organis ( fonetik artikulatoris atau fonetik fisiologis) ialah fonetik yang mempelajari bagaimana mekanisme alat- alat bicara yang ada dalam tubuh manusia menghasilkan bunyi bahasa (Gleason, 1955:239-256; Malmberg, 1963: 21-28; Mol,1970:15-18). Bagaimana bunyi bahasa itu diucapkan dan dibuat, serta bagaimana bunyi bahsa diklasifikasikan berdasarkan artikulasinya.
2. Fonetik Akustis mempelajari bunyi bahasa dari segi bunyi sebagai gejala fisis ( Malmberg, 1963:5-20). Bunyi- bunyi diselidiki frekuensi getarannya, amplitude, intensitas , dan timbrenya.
3. Fonetik Auditoris mempelajari bagaimana mekanisme telinga menerima bunyi bahasa sebagai getaran udara ( Bronstein & Beatrice F. Jacoby, 1967: 70-72).



TERJADINYA BUNYI

Sumber energi utama dalam hal terjadinya bunyi bahasa ialah adanya udara dari paru- paru dan dihembuskan keluar bersama- sama waktu sedang bernafas. Udara yang dihembuskan itu kemudian mendapatkan hambatan di berbagai tempat alat bicara dengan berbagai cara, sehingga terjadilah bunyi- bunyi bahasa. Tempat atau alat bicara yang dilewati diantaranya: batang tenggorok, kerongkongan, rongga mulut, rongga hidung, atau baik rongga hidung bersama dengan alat yang lain. Pada waktu udara mengalirkeluar pita suara dalam keadaan terbuka. Jika udara tidak mengalami hambatan pada alat bicara maka bunyi bahasa tidak akan terjadi, seperti dalam bernafas ( cf. Pike, 1947:3-4; Lapoliwa, 1981:5).
Syarat proses terjadinya bunyi bahasa secara garis besar dapat dibagi menjadi empat, yaitu : proses mengalirnya udara, proses fonasi, proses artikulasi, dan proses oro- nasal ( Ladefoged, 1973: 2-3).


Alat alat bicara
Bunyi bahasa terjadi jika udara mengalami hambatan pada alat-alat bicara. Bagian-bagian tubuh yang ikut menentukan baik langsung maupun tidak langsung dalam hal terjadinya bunyi bahasa itu ialah alat-alat bicara sperti dibawah ini:
1. Paru-paru (lungs)
2. Batang tenggorokan (trachea)
3. Pangkal tenggorokan (larynx)
4. Pita-pita suara (vocal cord)
5. Krokoid (cricoids)
6. Tiroid (thyiorid) atau lekum
7. Aritenoid (arythenoids)
8. Dinding rongga kerongkongan (wall of parynx)
9. Epiglottis
10. Akar lidah (root of the tongue)
11. Punggung lidah,lidah belakang,pangkal lidah (hump,back of taongue,dorsum)
12. Tengah lidah (middle of tongue,medium)
13. Daun lidah (blade of the tongue,lamina)
14. Ujung lidah (tip of the tongue,apex)
15. Anak tekak( uvula)
16. Langit-langit lunak (soft palate,velum)
17. Langit-langit kasar (hard palate,palatum)
18. Gusi dalam,gusi belakang,ceruk gigi,lengkung kaki gigi (alveola,alveolum)
19. Gigi atas (upper teeth,denta)
20. Gigi bawah (lower teeth,denta)
21. Bibir atas (upper lip,labia)
22. Bibir bawah (lower lip,labia)
23. Mulut (mouth)
24. Rongga mulut (oral cavity)
25. Rongga hidung (nose cavity)


FUNGSI DAN CARA KERJA ALAT BICARA
1. paru-paru
Fungsi pokok paru-paru adalah untuk pernafasan. Bernafas pada dasarnya ialah mengalirkan udara ke dalam paru-paru,proses ini disebut menarik nafas,dan mengeluarkan udara yang telah kotor keluar,proses ini disebut menghembuskan nafas.
Selama manusia masih hidup,proses mengembang dan mengempisnya paru-paru yang dikerjakan oleh otot-otot paru-paru,otot perut,dan rongga dada berjalan terus secara teratur.
Arus udara yang dari paru-paru inilah yang menjadi sumber syarat mutlak terjadinya bunyi.

2. pangkal tenggorokan
Pangkal tenggorokan atau laaring adalah rongga pada ujung pipa pernafasan. Rongga ini terdiri dari empat komponen,yaitu:tulang rawan krikoid,dua tulang rawan aritenoid,sepasang pita suara,dan tulang rawan tiroid.
Dengan peristiwa membuka dan menutupnya pita suara,maka terbentuklah suatu celah atau ruang diantara sepasang pita suara yang disebut glottis. Glottis dalam keadaan terbuka lebar terjadi ketika bernafas secra normal. Glottis dalam keadaan terbuka dalam menghasikan bunyi tak bersuara,sdang dalam keadaan trtutup,sehingga memungkinkan arus udara yang mengalir menggetarkan pita suara,pada waktu menghasilkan bunyi suara. Keadaan tertutup rapat,yaitu dalam menghasilkan bunyi hamzah.

3. rongga kerongkongan
Rongga kerongkongan atau ffaring ialah rongga yang terletak diantara pangkal tenggorokan dengan rongga mullut dan rongga hidung. Fungsi utamanya adalah sebagai saluran makanan dan minuman. Dalam pembentukan bunyi bahasa peranannya terutama hanyalah sebagai tabung udara yang ikut bergetar bila pita suara bergetar. Bunyi bahasa yang dihasilkan faring disebut faringal.

4. langit-langit lunak (soft palate,velum)
Langit-langit lunak besrta bagian ujungnya yang disebut anak tekak dapat diturun naik sedemikian rupa. Dalam keadaan bernafas normal maka langit-langit lunak beserta ujung anak tekak menurun,sehinga udara dapat keluar masuk melalui rongga hidung. Bunyi bahasa yang dihasilkan oleh langit-langit lunak ini disebut bunyi velar. Dalam pembentukan bunyi ia sebagai amikulatorpasif,sedankan articulator aktifnya ialah pangkal lidah.

5. langit-langit keras
Langit-langit keras merupakan susunan bertulang. Pada bagian depan mulai langit-langit melengkung cekung keatas dan bagian belakang berkhir dengan bagian yang teerasa lunak bila diraba. Langit-langit keras ini sebagai articulator pasif,sedangkan articulator aktifnya adalah ujung lidah atau tengah lidah. Bunyi yang dihasilkan langit-langit keras disebut palatal,bunyi yang dihasilkan oleh ujung lidah disebut apical,dan bunyi yang dihasilkan dengan hmbatan tengah lidah disebut medial. Gabungan yang pertama menjadi apiko palatal,sedangkan gabungan yang kedua menjadi medio palatal.

6. gusi dalam
Gusi dalam adalah bagian gusi tempat letak akar gigi depan atas bagian belakang,terletak tepat diatas serta dibelaknag gigi yang melengkung ke dalam menghadap lidah. Gusi ini sebagai articulator pasif,sedangkan articulator aktifnya adalah ujung lidah. Bunyi yang dihasikan oleh gusi disebut alveolar. Sehingga bunyi yang dihasilkan dengan hambatan uhjung lidah, derngan gusi disebut bunyi apikoalveolar. Selain itu, dapat juga gusi bekerjasama dengan daun lidah sebagai articulator aktifnya. Bunyi yang dihasilkan oleh daun lidah disebut laminal. Gabungan dari keduanya menjadi bunyi laminoalveolar
7. gigi (teeth, denta)
Gigi terbagi menjadi dua, yaitu gigi atas dan bawah. Gigi bawah dapat digerakan kebawah dan keatas, namun dalam pembentukan bunyi bahasa, tidak banyak berperan dan hanya bersifat membantu saja. Yang berfungsi penuh sebagai altikulator atau dasar artikulasi adaalah gigi atas, bekerja sama dengan gigi bawah atau ujung lidah, bunyi yang dihasilkan oleh gigi disebut dental, bunyi yang dihasilkan oleh bibir disebuit labial. Gabungan dari keduanya disebut labio-dental dan apiko-dental.
8. bibir (lips, labia)
Bibir diibbagi menjadi dua, bibir bawah dan bibir atas. Fungsi pokok dari keduaa bibir adalah sebagai pintu penjaga rongga mulut. Bibir atas sebagai articulator pasif bekerjasama dengan bibir bawah sebagai articulator aktif, hasilnya ialah bunyi labio-dental.
9. lidah
Fungsi pokok lidah adalah sebagai, alat perasa dan untuk memindahkan makanan yang akan atau sedang dikunyah. Sebagai articulator aktif, lidah mempunyai peranan yang sangat penting. Lidah dapat dibagi mmenjadi lima bagian, yaitu akar lidah (root), pangkal lidah (dorsum), tengah lidah (medium), daun lidah (lamina), dan ujung lidah (apex)

KLASIFIKASI BUNYI BAHASA

Bunyi bahasa dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Vokal, Konsonan , dan Semi- vocal
Secara umum bunyi bahasa dibedakan atas : vocal, konsonan, dan semi vocal ( cf. Jones, 1958:12). Pembedaan ini didasarkan pada ada tidaknya hambatan ( proses artikulasi) pada alat bicara. Bunyi disebut vokal, bila terjadinya tidak ada hambatan pada alat bicara, jadi tidak ada artikulasi.
Bunyi disebut konsonan, bila terjadinya dibentuk dengan menghambat arus udara pada sebagian alat bicara, jadi ada artikulasi. Proses artikulasi ini dapat disertai dengan bergetarnya pita suara, maka akan terbentuk konsonan bersuara. Jika artikulasi itu tidak disertai dengan bergetarnya pita suara, maka bunyi yang dihasilkan adalah konsonan tak bersuara.
Bunyi semi vocal ialah bunyi yang secara praktis termasuk konsonan tetapi karena pada waktu diartikulasikan belum membentuk konsonan murni, maka bunyi- bunyi itu disebut semi- vocal atau semi- konsonan.
2. Nasal dan Oral
Bunyi bahasa dapat dibedakan menjadi nasal ( sengau) dan oral. Jika udara keluar atau keluarnya udara melalui rongga hidung, dengan cara menurunkan langit- langit lunak beserta ujung anak tekaknya, maka bunyi itu disebut bunyi nasal atau sengau. Jika langit- langit lunak beserta ujung anak tekak menaiki menutupi rongga hidung sehingga udara hanya melalui rongga mulut saja, maka disebut dengan bunyi oral.
3. Keras ( Fortes) dan Lunak ( Lenes)
Bunyi bahasa dibedakan atas bunyi keras atau fortis (fortes) dan lunak atau lenis ( lenes). Bunyi bahasa disebut keras bila pada waktu diartikulasikan disertai ketegangan kekuatan arus udara. Jika tidak disertai ketegangan kekuatan arus udara disebut bunyi lunak.
4. Bunyi Panjang dan Pendek
Bunyi bahasa dibedakan atas bunyi panjang dan pendek ( cf. Jones, 1958:136). Pembedaan ini didasarkan pada lamanya bunyi itu diucapkan, atau lamanya bunyi itu diartikulasikan. Vokal dapat dibagi atas vocal panjang dan pendek.
5. Bunyi Rangkap dan Tunggal
Bunyi rangkap adalah bunyi yang terdiri dari dua bunyi dan terdapat dalam satu suku kata. Jika terdapat dalam dua suku kata yang berbeda bukan bunyi rangkap melainkan bunyi tunggal saja. Bunyi rangkap vocal disebut diftong, sedangkan bunyi tunggal vocal disebut disebut monoftong. Ciri diftong ialah keadaan posisi lidah dalam mengucapkan bunyi vocal yang satu dengan yang lain saling berbeda ( Jones, 1958 :22). Diftong naik dalam bahasa Indonesia ialah : [oi,aI], dan[aU]. Dalam bahasa Banjar Hulu ialah : [ai,aU], dan [ui] ( Durasid dkk., 1978:8). Dalam bahasa Madura ialah : [ ai, oi], dan [ ui] (cf. Zainudin dkk., 1978:16).
6. Bunyi Nyaring dan Tidak Nyaring
Bunyi dibedakan atas bunyi nyaring ( lantang) dan tidak nyaring pada waktu terdengar oleh telinga ( cf. Malmberg, 1963: 66).Jadi, pembedaan bunyi berdasarkan derajat kenyaringan itu sebenarnya adalah tinjauan menurut aspek auditoris. Derajat kenyaringan itu sendiri ditentukan oleh luas sempitnya atau besar kecilnya ruang resonansi pada waktu bunyi itu diucapkan.
Diantara vocal- vocal maka vocal yang paling tinggi justru derajat kenyaringannya paling rendah. Karena ruang resonansinya pada waktu diucapkan paling sempit jika dibandingkan dengan vocal yang lain.
Dibandingkan dengan vocal , bunyi- bunyi konsonan karena terbentuknya disertai dengan hambatan alat bicara pada saluran bicara sebagai ruang resonansinya, maka derajat kenyaringannya lebih rendah. Konsonan letup tak bersuara adalah yang paling rendah sedang yang paling tinggi adalah konsonan geletar. Dalam kata, bunyi yang merupakan puncak kenyaringan adalah bunyi yang derajat kenyaringannya tinggi, bunyi- bunyi yang demikian disebut silabis.
7. Bunyi dengan Arus Udara Egresif dan Bunyi dengan Arus Ingresif
Arah arus udara dalam pembentukan bunyi bahasa dapat dibedakan atas egresif dan ingresif ( Ladefoged, 1973:23). Arus udara egresif dapat dibedakan menjadi dua, yaitu egresif pulmonik dan egresif glotalik. Begitu juga arus udara ingresif dapat dibagi menjadi dua, yaitu ingresif glotali dan ingresif velarik.
a) Egresif Pulmonik
Ialah bunyi yang terbentuk dengan arus udara egresif ( keluar) dengan mekanisme pulmonik. Mekanisme udara pulmonik ialah udara dari paru- paru sebagai sumber utamanya dihembuskan keluar dengan cara mengecilkan ruangan paru- paru oleh otot perut, dan rongga dada.
b) Egresif Glotalik
Ialah bunyi yang terbentuk dengan arus udara egresif ( keluar) dengan mekanisme glotalik. Mekanisme glotalik terjadi dengan cara merapatkan pita- pita suara sehingga glottis dalam keadaan tertutup rapat sekali. Bunyi yang dihasilkan dengan proses egresif glotalik ini disebut bunyi ejektif.
c) Ingresif Glotalik
Ialah bunyyi bahasa yang terbentuk dengan arus udara ingresif ( masuk) dengan mekanisme glotalik. Bunyi ingresif mekanisme glotalik ini prosesnya sama dengan egresif glotalik. Jadi merapatkan pita- pita suara sehingga glottis tertutup rapat sekali. Bunyi- bunyi bahasa yang dihasilkan dengan proses ingresif glotalik ini disebut bunyi implosif.
d) Ingresif Velarik
Ialah bunyi yang terbentuk dengan arus udara ingresif ( masuk) dengan mekanisme velarik. Mekanisme udara velarik terjadi dengan menaikkan pangkal lidah ditempelkan pada langit- langit lunak. Bersama- sama dengan itu kedua bibir ditutup rapat atau yang lebih umum ialah ujung dan kedua sisi lidah dirapatkan pada gigi atas. Kemudian ujung lidah dan kedua sisi lidah merapat pada gigi lalu dilepaskan turun serta dikebelakangkan, bibir dibuka, sehingga ada kerenggangan ruangan udarapada rongga mulut.

Klasifikasi Vokal
Vokal Kardinal : bunyi vokal yang mempunyai kualitas bunyi tertentu, keadaan lidah tertentu, dan bentuk bibir tertentu, yang telah dipilih sedemikian rupa untuk dibentuk dalam suatu rangka gambar bunyi. Rangka gambar itu dapat dipakai sebagai acuan perbandingan dalam diskripsi vokal semestaan bahasa di dunia( Daniel Jones, 1958 : 18). Vokal kardinal itu dalam abjad fonetik internasional diberi lambang [I,e,e’,a,a’,o,o’,u] dan diberi nomor urut 1-8. Parameter penentuan vokal kardinal itu ditentukan oleh keadaan posisi tinggi rendahnya lidah, bagian lidah yang bergerak, struktur dan bentuk bibir. Keadaan lidah dalam mengucapkan vokal kardinal [I,a’,a,u] telah ditentukan dengan menggunakan pemotretan sinar X, sehingga dapat diketahui titik tertinggi letak ketinggian lidah yang melengkung.
Adapun cara pengucapanya adalah sebagai berikut :
 Vokal [i] : diucapkan dengan meninggikan lidah depan setinggi mungkin.
 Vokal [a] : diucapkan dengan merendahkan lidah depan serendah mungkin.
 Vokal [a’] : diucapkan dengan merendahkan pangkal lidah serendah mungkin.
 Vokal [u] : diucapkan dengan menaikan pangkal lidah setinggi mungkin.
 Vokal [e] dan [e’] : diucapkan dengan lidah depan terletak diantara [i] dan [a].
 Vokal [o] dan [o’] : diucapkan dengan posisi pangkal lidah diantara [u] dan [o].
Kedelapan vokal kardinal itu dapat dilihat dalam bagan yang berbentuk trapesium. Vokal dapat diklasifikasikan berdasarkan tinggi rendahnya lidah, bagian lidah yang bergerak, struktur, dan bentuk bibir. Keterangan :
1. Tinggi rendahnya lidah
Berdasarkan tinggi rendahnya lidah, vokal dapat dibedakan menjadi :
• Vokal tinggi, misalnya : [I,u]
• Vokal madya, misalnya : [e,e’,o,o’]
• Vokal rendah, misalnya : [a,a’]
2. Bagian lidah yang bergerak
Berdasarkan bagian lidah yang bergerak vokal dapat dibedakan menjadi :
• Vokal depan : vokal yang dihasilkan oleh gerakan peranan turun naiknya lidah bagian depan misalnya [I,e,e’,a]
• Vokal tengah : vokal yang dihasilkan oleh gerakan peranan lidah bagian tengah.
• Vokal belakang : vokal yang dihasilkan oleh gerakan peranan turun naiknya lidah bagian belakang misalnya [u,o,o’,a]
3. Struktur
Adalah keadaan hubungan posisional artikulator aktif dengan artikulator pasif. Karena vokal tidak ada artikulasi, maka struktur untuk vokal ditentukan oleh jarak lidah dengan langit-langit. Menurut strukturnya vokal dapat dibedakan atas :
• Vokal tertutup (close vowels) : vokal yang dibentuk dengan lidah diangkat setinggi mungkin mendekati langit-langit dalam batas vokal.
• Vokal semi tertutup (half close) : vokal yang dibentuk dengan lidah diangkat dengan ketinggian sepertiga dibawah tertutup atau dua pertiga diatas vocal yang paling rendah.
• Vokal semi terbuka (half open) : vokal yang dibentuk dengan lidah diangkat dalam ketinggian sepertiga diatas vokal yang paling rendah atau dua pertiga dibawah vokal tertutup
• Vokal terbuka (open vowels) : vokal yang dibentuk dengan lidah dalam posisi serendah mungkin.
4. Bentuk bibir
Berdasarkan bentuk bibir waktu vokal diucapkan, maka vokal dibedakan atas :
• Vokal bulat (rounded vowels) : vokal yang diucapkan dengan bentuk bibir bulat, bisa terbuka atau tertutup. Misalnya vocal [o,u]
• Vokal netral (neutral vowels) : vokal yang diucapkan dengan bentuk bibir dalam posisi netral tidak bulat, tetapi juga tidak terbentang lebar. Misalnya vokal [a’]
• Vokal tak bulat (unrounded vowels) : vokal yang diucapkan dengan bentuk bibir tidak bulat atau terbentang lebar. Misalnya vokal [I,e,a,e’]



DIFTONG

Ciri diftong adalah waktu diucapkan posisi lidah yang satu dengan yang lain saling berbeda.

1. Diftong Naik (Rising Diftong) (ai,au,oi)

Diftong naik (rising diphtongs) adalah jika vocal yang kedua diucapkan dengan posisi lidah lebig tinggi daripada yang pertama. Diftong ini juga dapat disebut diftong menutup (closing diphtongs). Berikut diurakan diftong naik dalam bahasa Indonesia, Semende, Banjar Hulu, Madura, Jawa, dan Bahasa Inggris.

a. Diftong naik bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia mempunyai 3 jenis diftong naik (cf.Soebardi,1973:8-9),yaitu:
1). Diftong naik menutup-maju (aI), contohnya: pakai, lalai, pandai, nilai, tupai, sampai.
2). Diftong naik sampai menutup maju ( oi ). Contohnya: amboi, sepoi-sepoi.
3). Diftong naik menutup-mundur ( au ). Contohnya : Saudara, saudagar, lampau, surau, pulau, kacau.
Diftong Naik Bahasa Indonesia

(i) . (U)

(I)
(O)





b). Diftong naik bahasa Semende
Bahasa Semende mempunyai 4 jenis diftong naik (cf. Saleh dkk. 1979:25-26), Yaitu:
1. Diftong naik menutup-maju (ai), contohnya: bai hewan bibit betina , empai “baru”, petai “patai”.
2. Diftong naik menutup-maju (oi), contohnya : baloi ‘ seri’, apoi ‘sejenis penyakit, keloi’tali rami’.
3. Diftong naik menutup-mundur (au), contohnya: pantau ‘panggil’, limau ‘jeruk’, parau’serak’.
4. Diftong naik menutup-maju (oU), contohnya : sembou’sembur’, kapou’kapur’.

(i) . (U)

(I)
(O)








( a)

c). Diftong naik Bahasa Banjar Hulu
Bahasa banjar hulu adalah bahasa ibu bagi penduduk propinsi Kalimantan Selatan bagian utara.
Ada 3 jenis diftong naik dalam bahasa Banjar Hulu:
1. Diftong naik-menutup-maju (ai), contohnya : mamai ‘omei’, pakai ‘pakai’, kunai ‘nanti’, balanai ‘belanga’.
2. Diftong naik-menutup-maju (ui), contohnya : kuitan ‘orang tua’, bangkui ‘ orang hutan’, pului ‘terbuka’, ruput ‘ remuk’.
3. Diftong naik-menutup-mundur (aU), contohnya: sauda ‘ tidak’, mamu ‘hilang’, pakau’ ikat’, pulau ‘pulau’, badau ‘luka besar’.


(i) . . (U)

(I)
(O)






( a)


d). Diftong naik Bahasa Madura
ada 3 jenis diftong dalam bahasa madura, yaitu :
1. Diftong naik menutup-maju (ai), contohnya: songai ‘sungai’, anggai ‘orong-orong, barakai ‘biawak’.
2. Diftong naik-menutup-maju (oi), contohnya: soroi’sisir’, aloi ‘basi’(makanan).
3. Diftong naik-menutup-maju (ui), contohnya: kerbui ‘kerbau’, anggui ‘pakai, galui ‘ aduk’.

(i) . (U)

(I)
(O)


Dalam bahasa Madura hanya mempunyai diftong naik, sedangkan diftong turun tidak terdapat dalam bahasa ini.

e). Diftong naik bahasa Jawa
terdapat satu jenis diftong naik pada kata-kata afektif atau kata-kata yang bernilai kadar rasa dalam bahasa jawa (cf. Sudaryanto dkk., 1982:25 dan 28), yaitu diftong naik-menutup-maju[ui], contonya : uijo, ‘sangat hijau’, uireng ‘sangat hitam’, cuilik, ‘sangat kecil’.

(i) . (U)









Selain diftong naik, dalam bahasa Jawa terdapat juga diftong turun.

f. Diftong naik bahasa Inggris
Bahasa Inggris mempunyai lima jenis diftong naik (cf. Jones,1958:52-62;Ramelan, 1982:78-85), yaitu:
1). Diftong naik-menutup-maju [ai], contohnya: time [taim], like [laik], rice [rais].
2). Diftong naik-menutup-munutup [eI], contohnya: day [del], late [leIt], base [beIs].
3). Diftong naik-menutup-mundur [aU], contohnya: boy [boi], coy [koi].

4). Diftong naik-manutup-mundur [aU], contohnya: how [haU], now [naU], sow [saU].
5). Diftong naik-menutup-maju [oU], contohnya: go [gou], tone [toun], code [koud].

Selain diftong naik, dalam bahasa ingggris terdapat juga diftong turun.

Diftong Turun (Falling Diphtongs)

Diftong turun (falling diptongs) adalah jika justru posisi lidah yang kedua diucapakan lebih rendah dari pada yang pertama. Diuraikan diftong turun dalam bahasa Semende, jawa, dan bahasa Inggris.

a. Diftong bahasa Semende
Dalam bahasa Semende terdapat juga diftong turun-membuka-mundur [IU], contohnya; iu ‘ah’, empiu-empiu ‘puput batang padi’, endui ‘kata seru untuk menakut-nakuti’.
b. Diftong turun bahasa jawa
Dalam bahasa jawa terdapat empat jenis diftong turun, yaitu:
1). Diftong turun-membuka-maju [ua], contohnya: muarem ‘ sangat puas’, uadoh ‘ sagat jauh’, uanteng ‘ sangat tenang’.
2). Diftong turun-membuka- maju [uo], contohnya: uelek ‘sangat jelek’, uenteng’ sangat ringan’, ngueyel ‘ sagat tetap mempertahanka pendiriannya’.
3). Diftong turun-membuka- mundur [uo], contohnya: luara ‘ sangat sakit’, duawa ‘sangat panjang’.
4). Diftong turun-membuka- memusat [u ], contohnya: uempuk ‘sangat lunak’, guedhe ‘sangat besar’.

c. Diftong turun bahasa inggris
Ada dua jenis diftong turun yaitu diftong turun-membuka-memusat [i ], contohnya ear [i ]: dan diftong turun-membuka-memusat [u ], contohnya: poor [phu ].


3.Diftong Memusat (Centering Diptongs)

Klasifikasi Konsonan

1. Konsonan Hambat letup ( Stops,Plosives)

Konsonan hambat letup adalah konsonan yang terjadi dengan penuh arus udara kemudian hambatan itu dilepaskan secara tiba-tiba.Menurut tempat hambatannya (artikurkalasinya)konsonan ini dibagi menjadi:

i) Konsonan Hambat letup bilabial (bibir)
Konsonan Hambat letup bilabial terjadi bila penghamba arikulator aktifnya adalah bibir bawah dan articulator pasifnya adalah bibir atas,seperi bunyi [p , b].
Contoh:
Bahasa Jawa : pipa’pipa’ upa’butir nasi’ tetep ‘tetap’

ii) Konsonan Hambat letup apiko-dental
Konsonan hambat letup apiko dental terjadi pabila penghambat artikulatornya pasifnya ialah gigi atas.bunyi yang dihasilkan ialah [t, d].
Contoh:
Bahasa Jawa : tawa ‘tawar’ rata’rata’ papat ‘empat’
Dawa ‘panjang’ rada’agak’

iii) Konsonan Hambat letup apiko-alveolar
Konsonan Hambat letup apiko-alveolar terjadi apabila penghambat arikulator aktifnya adalah ujun lidah dan articulator pasifnya adalah Gusi.Bunyi yang terjadi adalah [t,d].
Contoh ;
Bahasa inggris : town, writing,heart

iv) Konsonan Hambat letup apiko palatal
Konsonan Hambat letup apiko palatal terjadi bila arikulator aktifnya adalah ujung lidah dan articulator pasifnya adalah lengit-langit keras.Bunyi yang terjadi ialah [ţ ,d]
Contoh :
Bahasa Jawa : thukul ‘tumbuh’ cedhak ‘dekat’

v) Konsonan Hambat letup medio-palatal
Konsonan Hambat letup medio-palatal terjadi bila articulator aktifnya adalah tengah lidah dan articulator pasifnya adalah langit-langit keras.Bunyi yang di hasilkan adalh [c, j]
Contoh :
Bahasa Jawa : cara’cara’ jala ‘jaring’



vi) Konsonan Hambat letup dorso –velar
Konsonan Hambat letup dorso –velar terjadi apabila articulator pasifnya lanit-langit lunak.Bunyi yang dihasilkan [k, g]
Contoh :
Bahasa Jawa: kula ‘saya’ saka ‘dari’
Gula’gula’ jaga ‘jaga’

vii) Konsonan Hamzah (Glotal plosive,lotal stop)
Konsonan Hamzah terjadi dengan menekan rapat yang satu terhadap yang lain pada seluruh panjannya pita suara , langit –langit lunak beserta anak tekaknyadikeataskan,sehingga arus udara terhambat untuk beberapa saat. Dengan merapatnya sepasang pita suara maka glottis dalam keadaan tertutup rapa.Secara tiba-tiba kedua selaput pita suara itu dipisahkan,terjadilah letupan udara keluar ,dan terdengar [?].

Contoh:
bahasa Jawa : sa’at [sa?at] ‘saat’ usuk[usu?]


2. Konsonan Nasal (Nasals)
Konsonan nasal (senau) ialah konsonan yan dibentuk dengan menghambat rapat (menutup) jalan udara dari paru-paru melaui rongga hidun,jadi strukurnya rapat.Bersama dengan itu langi-langit lunak besera anak tekaknya diturunkan , sehingga udara keluar melalui ronga hidung.Menurut tempa hambatannya (artikulasinya ) konsonan ini dibedakan menjadi :

i) Konsonan nasal bilabial
Konsonan nasal bilabial terjadi bila penghambat articulator aktifnya ialah bibir bawah dan articulator pasifnya ialah bibir atas.Nasal yang terjadi adalah [m]. Contoh :
Bahasa Jawa : mateng ‘masak’ sami ‘sama’ ulam ‘ikan’

ii) Konsonan Nasal apiko-alveolar
Konsonan Nasal apiko-alveolar terjadi bila penghambat articulator aktifnya adalah ujung lidah dan articulator pasifnya adalah gusi.Nasal yang terjadi ialah [n].
Contoh :
Bahasa Jawa : nangka ‘nangka’ guna ‘guna’ pisan ‘satu kali’

iii) Konsonan Nasal medio-palatal
Konsonan Nasal medio-palatal terjadi bila penghambat articulator aktifnya adalah tengah lidah dan articulator pasifnya adalah langit-langit keras.Nasal yang terjadi ialah [ň].
Contoh : nyata ‘nyata’ lunyu ‘licin’

iv) Konsonan Nasal dorso –velar
Konsonan Nasal dorso –velar terjadi bila penghambat articulator aktifnya adalah pangkah lidah dan articulator pasifnya adalah langit-langit lunak.Nasal yang terjadi ialah [ŋ].
Contoh :
Bahasa Jawa : ngono ‘begitu’ sungu ‘tanduk’ lawang ‘pintu’

3. Konsonan Paduan (Affricates)

Konsonan Paduan adalah konsonan hambat jenis khusus.Proses terjadinya dengan menghambat penuh arus udara dari paru-paru, kemudian hambatan itu dilepaskan secara bergeser pelan-pelan.Jadi strukturnya rapat kemudian dilepaskan secara perlahan.

Tempat artikulasinya ialah ujung lidah dan bagian belakang (langit-langit keras bagian depan atau prepatal). Bunyi yang erjadi adalah paduan apiko – prepatal [t∫, dζ ]
Contoh
Bahasa inggris : awal tengah akhir
Chin ridges ridge

4. Konsonan Sampingan (Laterals)
Konsonan sampingan dibentuk dengan menutup arus udara di tengah ronga mulut sehingga udara keluar dari melalui kedua samping atau sebuah samping saja.Jadi surkurnya rengang lebar.
Tempat artikulasinya ujung lidah dengan gusi.Bunyi yang dihasilkan disebut sampingan apiko-alveolar.bunyi itu ialah [ l ].
Contoh :
Bahasa jawa : Awal tengah Akhir
Lali ‘lupa’ bali ‘pulang’ sambel ‘sambal’


5. Konsonan Geseran atau Frikatif (Fricative,Frictions)
Konsonan eseran atau frikatif ialah konsonan yang dibentuk dengan menyempitkan jalanya arus udara yang dihembuskan dari paru-paru,sehingga jalanya udara terhalang dan keluar dengan bergeser.Jadi strukturnya idak rapat seperti pada konsonan letup tetapi renggang. Menurut tempat hambatannya (artikulasinya ) konsonan ini dibedakan menjadi :





ii) Konsonan geseran labio-dental
Konsonan geseran labio-dental terjadi apabila articulator aktifnya adalah bibir bawah dan articulator pasifnya adalah gigi atas.Bunyi yang di hasilkan adalah [f, v].
Contoh:
Bahasa Jawa/Indonesia : foto veteran saraf

iii) Konsonan geseran apiko-dental
Konsonan geseran apiko-dental terjadi apabila articulator aktifnya adalah ujung lidah dan articulator pasifnya adalah gigi atas.Bunyi yang di hasilkan adalah [Ө,ð].
Contoh:
Bahasa inggris: thank nothing both


iv) Konsonan geseran apiko-palatal
Konsonan geseran apiko-palatal terjadi apabila articulator aktifnya adalah ujung lidah dan articulator pasifnya adalah langit-langit keras.Bunyi yang di hasilkan adalah [ŗ].
Contoh:
Bahasa inggris: Run very arround


v) Konsonan geseran lamino-alveolar
Konsonan geseran lamino-alveolar terjadi apabila articulator aktifnya adalah daun lidah ujung lidah sedangkan articulator pasifnya adalah gusi.Bunyi yang di hasilkan adalah [s,z].
Contoh:
Bahasa Jawa : sangu’bekal’ alas ‘hutan’ ijazah

vi) Konsonan geseran apiko prepalatal
Konsonan geseran apiko prepalatal terjadi apabila articulator aktifnya adalah ujung lidah dan articulator pasifnya adalah gusi.Bunyi yang di hasilkan adalah [∫, ].
Contoh:
Bahasa Inggris: Shop Nation wash


vii) Konsonan geseran dorso-velar
Konsonan geseran dorso-velar terjadi apabila articulator aktifnya adalah pangkal lidah dan articulator pasifnya adalah langit-langit lunak.Bunyi yang di hasilkan adalah [X].
Contoh:
Bahasa Jawa : Ikhtiar Syekh

viii) Konsonan geseran laringal
Konsonan geseran laringal terjadi apabila articulatornya adalah sepasang pita suara.Udara yang melalui paru-paru pada waktu melewati glottis digeserkan. Glotis yang terbuka kemudian menghasilkan bunyi [h].
Contoh:
Bahasa Jawa : hawa tuhu’setia’ sayah ‘lelah’


6. Konsonan Getar (Trills,Vibrants)
Konsonan getar atau geletar ialah konsonan yang dibentuk dengan menghambat jalannya arus udara yang dihembuskan dari dari paru-paru secara-berulang-ulang dan cepat.Jadi strukturnya rapat renggang. Menurut tempat hambatannya (artikulasinya ) konsonan ini dibedakan menjadi :


ii) Konsonan getar apiko alveolar
Konsonan getar apiko alveolar terjadi bila artikulator aktif yang menyebabkan proses menggetar itu ialah ujung lidah dan artikulator pasifnya adalah gusi.Bunyi yang dihasilkan adalah [r],
Contoh :
Bahasa Jawa : rada ‘agak’ para’para’ pasar ‘pasar’

iii) Konsonan getar uvular
Konsonan getar uvular terjadi adalah artikulatornya aktif yang menyebabkan bergetarnya udara itu ialah pangkal lidah (lidah belakang) dan artikulator pasifnya ialah anak tekak.Bunyi yang dihasilkan ialah [ R ]
Contoh :
Bahasa Prancis : rue [Ry] ‘jalan’ Oral [oRal]

7. Konsonan Sentuhan (tap)
Konsonan sentuhan ialah konsonan yang pembentukannya hampir sama dengan getar tetapi proses bergetar itu hanya terjadi satu kali.Jadi strukturnya rapat renggang pendek sekali.
Tempat artikulasinya ialah ujun lidah dan gusi belakang atau langit-langit.Bunyi yang dihasilkan disebut sentuhan (tap) apiko-alveolar,dilambangkan dengan [ﻠ]
Contoh :
bahasa Tamil: [aﻠam] ‘melihat’
[aram] ‘amal’

8. Konsonan Sentuhan kuat (flap)


9. Konsonan Semi vocal
Menurut tempat hambatannya (artikulasinya ) konsonan ini dibedakan menjadi :

ii) Semi vocal bilabial dan labio-dental
Semi vocal bilabial terjadi bila articulator aktifnya adalah bibir bawah dan articulator pasifnya adalah bibir atas,bunyi yang terjadi ialah [w]bilabial.Dapat jua bibir bawah bekerja sama dengan gigi atas,yan terjadi adalah [w] labio-dental.
Contoh :
Bahasa Jawa : watu ‘batu’ awu ‘abu’

iii) Semi vocal medio-palatal
Semi vokal medio-palatal terjadi bila articulator aktifnya ialah tengah lidah dan articulator pasifnya adalah lanit-langit keras.Bunyi yan terjadi adalah [y].
Contoh :
Bahasa Jawa : yen ‘apabila’ ayu ‘cantik’




PENGARUH BUNYI, TRANSKRIPSI DAN TRANSLITERASI


Bunyi bahasa tidak bisa lepas dari yang satu terhadap yang lain. Alat ucap dalam membentuk bunyi bahasa yang satu dengan alat ucap yang membentuk bahasa yang lain saling pengaruh mempengaruhi. Baik pada kegiatan alat ucap dalam membentuk bunyi yang mendahulu maupun yang mengikutinya. Berikut diuraikan tentang pengaru-mempengaruhi bunyi dan pengaruh bunyi karena distribusi. Serta akan diuraikan tentang transkripsi dan transliterasi

1.Pengaruh-mempengaruhi bunyi

Dapat ditinjau dari dua segi :

A. Proses Asimilasi :
Adalah akibat dari pengaruh-mempengaruhi bunyi tanpa mengubah identitas fonem.
Proses asimilasi menurut arahnya dibagi menjadi dua:
1. Asimilasi Progesif
Terjadi bila arah pengaruh bunyi itu ke depan. Yaitu perubahan letup apiko-dental [t] menjadi letup lamini-alveolar [t], karena pengaruh progesif bunyi geseran lamino-alveolar. Contohnya pada kata “ stasiun “.
2. Asimilasi Regresif
Terjadi bila arah pengaruh bunyi itu ke belakang. Yaitu perubahan nasal apiko-alveolar menjadi nasal apiko-palatal [n], karena ppengaruh regresif dan bunyi letup palatal [d]. Contohnya pada kata “ pandan “ dalam bahasa Indonesia ialah [pandan] dan dalam bahasa Jawa ialah [pandhan].

B. Artikulasi penyerta :
Adalah tempat artikulasi yang mana mempengaruhi. Bunyi [k] pada kata kucing (bahasa Indonesia/Jawa) dengan kidang (bahasa Jawa) berbeda, karena [u] vocal yang langsung mengikuti [k] merupakan vocal belakang bulat, maka [k] dalam kucing diucapkan dengan lidah lebih ke belakang dan bentuk bibir bulat agak dimoncongkan. Sementara [k] kidang, karena [i], vocal yang mengiktuinya merupakan vocal depan tak bulat, maka [k] diucapkan dengan lidah ke depan dan bentuk bibir tidak bulat. Menurut artikulasinya, proses bunyi karena artikulasi penyerta dapat dibagi menjadi :
1. Labialisasi
Adalah pembulatan bibir pada artikulasi primer, sehingga terdengar bunyi [w] pada bunyi utama. Kecuali bunyi labial dapat disertai labilisasi. Contohnya bunyi [t] pada kata tujuan (bahasa Indonesia/Jawa) terdengar [tw].
2. Retrofleksi
Adalah penarikan ujung lidah ke belakang pada artikulasi primer, sehingga terdengar bunyi [r] pada bunyi utamanya. Kecuali bunyi apical dapat disetai retrofleksi. contohnya kata kerdus, [k] diretrofleksi terdengar [kr].


3. Patalisasi
Adalah pengangkatan daun lidah kearah langit-langit keras pada artikulasi primer. Kecuali bunyi palatal dapat disertai patalisasi. Contohnya bunyi [p] pada kata piara, [p] dipatalisasi terdengar [py].
4. Velarisasi
Adalah pengangkatan pangkal lidah kea rah lagit-langit lunak pada artikulasi primer. Kecuali bunyi velar dapat divelarisasi. Contonya bunyi [m] pada kata makhluk, [m] divelarisasi terdengar [mx].
5. Glotalisasi
Adalah proses penyerta hambatan pada glottis (glottis tertutup rapat) sewaktu artikulasi primer diucapkan. Kecuali bunyi glottal dapat di glotalisasi. Contohnya dalam bahasa Indonesia kata akan diucapkan [?akan]. Dalam bahasa Jawa arep diucapkan [?arәp] dan ana diucapkan [כnכ].




2. Pengaruh bunyi karena Distribusi
Berada pada awa, tengah, akhir, atau berada sebelum bunyi tertentu, juga serung menentukan perwujudan bunyi; sehingga menyebabkan prose-proses sebagai berikut :

A. Aspirasi
Adalah pengucapan bunyi disertai dengan hembusan keluarnya udara dengan kuat sehingga terdengar bunyi [h] (cf. Bloch & gGeorge L. Trager,1942 ; 32-33). Misal, bunyi konsonan letup bersuara [b, d, d, j, g ] dalam bahasa Jawa berdistribusi pada awal dan tengah (awal suku kata) diaspirasikan sehingga terdengar sebagai [bh, dh, dh, jh,gh ].Tapi jika konsonan letup itu (seperti [ b, d, g ]) berada pada pengunci kata, misalnya dialek Jawa (Banyumas dan Tegal), konsonan letup itu diucapkan tanpa aspirasi. Dalam bahasa Inggris konsonan letup tak bersuara [p, t, k] berdistribusi pasa awal suku kata langsung diikuti oleh vocal keras bertekanan diucapkan dengan aspirasi kuat, sehingga terdengar [ph, th, kh]. Bila konsonan letup tak bersuara itu berada pada pengunci kata atau sesudah bunyi lamino-alveolar [s] (misalnya dalam kata stop, spore, score) maka aspirat itu menghilang. Bunyi aspirat adalah bunyi yang beraspirasi.

B. Lepas atau pelepasan (release)
Adalah pengucapan bunyi hambat letup yang seharusnya dihambat atau diletupkan tetapi tidak dihambat atau diletupkan, dan dengan serentak bunyi berikutnya diucapkan. Jadi hambatan atau letupan itu dilepaskan atau dibebaskan (Bloch & George L. Trager, 1942;32) Menuryt jenisnya, pelepasam dibagi menjadi :

1. Lepas tajam (sharp release)
Adalah lepas penuh atau pelepasan alat-alat artikulasi dari titik artikulasiinya terjadi secara tajam (cf. Bloch & George L. Trager, 1968:57) Contohnya dalam bahasa Indonesia, Angkola, Semende, Kendayan dan Jawa bila berada pada pengunci kata, maka proses letupannya dihilangkan. Bunyi lepas ditandai dengan [ - ] diatas bunyi yang di;epaskann misal, [ p-, t-, k- ].



2. Lepas nasal (nasal release)
Adalah pelepasan yang terjadi karena adanya bunyi nasal di depannya. Letupannya dilepaskan melalui keluarnya udara lewat rongga hidung, jika bunyi hambat letup itu berdistribusi sebelum bunyi nasal yang homorgan. Ditandai dengan [Nasal] di atas samping kanan bunyi yang dilepasnasalkan, misalnya [pm] ([p] lepas nasal [m]), [tn] lepas nasal [n]) (cf. Bloch & George L. Trager, 1942:33) Samsuri, 1978:121-122) Contoh :
Bahasa Indonesia : tatap muka ([pm])
tempat nenek ([tn])
Bahasa Jawa : derep maneh”menuai lagi” ([pm])
serat nanas “serat nanas” ([tn])
Bahasa Inggris : topmost ([pm])
button ([tn])
Lepas nasal ini hamper sama dengan proses asimilasi regresif.

3. Lepas sampingan (lateral release)
Pelepasan yang terjadi karena adanya bunyi sampingan di depannya. Letupannya dapat dilepaskan secara sampingan bila konsonan letup berdistribusi sebelum bunyi sampingan [l]. Lepas sampingan ditandai dengan [l] diatas samping kanan dar bunyi yang dilepassampingkan, missal [tl] ([t] lepas sampingan), [dl] ([d] lepas sampingan ) (cf. Blosc & George L.Tragor, 1942:33) Contohnya :
Bahasa Indonesia : cukup luas ([pl])
cepat lupa ([tl])
Bahasa Jawa : tutup lawang “tutup pintu” ([pl])
pedhet lemu “anak lembu” ([tl])
Bahasa Inggris : oddly ([dl])
atlas ([tl])
Lepas sampingan ini hamper sama dengan proses asimilasi regresif.

C. Panduanisasi atau pengafrikatan
Bunyi hambat letup yang seharusnya dihambat dan diletupkan tidak diletupkan, melainkan setelah hambatan lalu dilepaskan secara bergeser pelan-pelan. Proses yang kedua menyebabkan adanya penyempitan jalannya arus udara, sehingga udara terpaksa keluar dan bergeser. Jadi akulturasinya lalu menjadi hambat geseran bukan hambat letupan. Gabungan antara hambat dan geseran disebut paduan atau afrikat. Prosesnya disebut Panduanisasi atau pengafrikatan (cf. Bloch & George L. Trager, 1942:33 Samsuri, 1978:121) Contohya :
Bahasa Indonesia : hebat diucapkan [hebats] ([t] dipadukan)
alat diucapkan [alats] ([t] dipadukan)
Bahasa Jawa : papat “empat” diucapkan [papats] ([t] dipadukan)
mantep “mantap” diucapkan [manteps] ([p] dipadukan).






3. Trasnkripsi dan Transliterasi

A. Transkripsi
Adalah penulisan tuturan atau pengubahan teks dengan tujuan untuk menyarankan : lafal bunyi, fonem, morfem, atau tulisan sesuaidengan ejaan yang berlaku dalam suatu bahasa yang menjadi sasarannya (cf. Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1975:25)
Menurut tujuannya,transkripsi dibagi :
1. Transkripsi fonetis, yaitu penulisan pengubahan menurut bunyi, ditandai dengan [. . .]
2. Transkripsi fonemis, yaitu penulisan pengubahan menurut fonem, ditandai dengan /. . ./
3. Transkripsi morfemis, yaitu penulisan pengubahan menurut morfem, ditandai {. . .}
4. Transkripsi ortografis, yaitu penulisan pengubahan menurut huruf dan ejaan bahasa yang menjadi tujuannya.

B. Transliterasi
Adalah penggantian huruf demi hurufdari abjad yang satu ke abjad yang lain, tanpa menghiraukan lafal bunyi kata yang bersangkutan (Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1972:25). Misalnya, transliterasi huruf abjad Jawa, Jawa Kuno, Batak, Rejang, Bali, Tamil, Arab, Dewanagari, dan sebagainya dialihkan ke huruf abjad latin.



BUNYI SUPRASEGMENTAL

Adalah bunyi yang menyertai bunyi segmental. Bunyi suprasegmental dapat diklasifikasikan menurut cirri-cirinya waktu diucapkan. Ciri-ciri Prosodo adalah ciri-ciri bunyi suprasegmental waktu diucapkan (prosodic features) (cf. Bloch & Geore L. Trager, 1942:34; Samsuri 1970:6-7) dan dapat diklasifikasikan sbb :

1. Panjang atau Kuantitas
Ini menyangkut lamanya bunyi lamanya bunyi diucapkan. Suatu bunyi segmental yang diucapkan alat-alat ucap dipertahankan cukup lama, pastilah disertai bunyi suprasegmental dengan cirri prosodi yang panjang dan sebaliknya. Tanda untuk panjang ialah [. . . : ] (tanda titik dua disebelah kanan bunyi segmental) atau [ - ] (tanda garis pendek diatas bunyi segmental). Tanda untuk panjang itu disebut mora, yang lazim dipakai dalam bahasa Jepang (cf.Samsuri, 1978:122).

2. Nada (Pitch)
Nada menyangkut tinggi-rndahnya bunyi. Suaatu bunyi segmental yang diucapkan dengan frekuensi getaran yang tinggi, pastilah dibarengi dengan bunyi suprasegmental dengan cirri prosodi nada tinggi dan demikian pula sebaliknya.
Nada yang lazim dpakai dalam bahasa-bahasa nada dapat dibedakan menjadi lima 9cf. Verhaar, 1977:49 ; Samsuri, 1978:123), yaitu :
a. Nada naik, yaitu nada yang meninggi, ditandai [ ]
b. Nada datar, ditandai dengan [ -- ]
c. Nada turun, yaitu nada yang merendah, ditandai [ ]
d. Nada turun naik, yaitu nada yang menurun kemudian meninggi, ditandai [ v ]
e. Nada naik turun, yaitu nada yang meninggi kemudian merendah, ditandai [ ^ ]
Variasi nada yang menyertai bunyi segmental dalam kalimat disebut intonasi. Dala hal intonasi variasi nada biasanya dibedakan menjadi empat (cf. Samsuri, 1970:14-15; Halim, 1974; Verhaar,1977:30), sbb :
a. Nada rendah ditandai dengan angka 1
b. Nada sedang ditandai dengan angka 2
c. Nada tinggi ditandai dengan angka 3
d. Nada sangat tinggiditandai dengan angka 4

3. Tekanan (Stress)
Menyangkut keras lunak 9lemah)-nya bunyi. Suatu bunyi segmental yang diucapkan dengan ketegangan kekuatan arus udara sehingga menyebabkan amplitudonya lebar,pastilah dibarengi dengan bunyi suprasegmental dengan cirri prosodi tekanan keras. Sebaliknya, suatu bunyi segmental yang diucapkan tanpa ketegangan kekuatan arus udara sehingga amplitudonyatidak lebar atau sempit, pastilah debarengi dengan bunyi suprasegmental ciri prosodi tekanan lunak (lemah).
Demikianlah, jadi tekanan dibedakan atas tekanan keras yang ditandai dengan [!..] dan tekanan lunak (lemah) (cf.Samsuri, 1978:123).


4. Jeda atau Persendian (juncture)
Menyangkut perhentian bunyi dalam bahasa.Suatu bunyi segmental dalam suku kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacana pastilah disertai dengan bunyi suprasegmental perhentian di sana-sini. Bunyi suprasegmental yang berdiri prosodi perhentian sana-sini itu disebut jeda atau persendian. Bahasa yang satu dengan yang lain, jedanya berbeda-beda; ada yang jedanya jelas, ada yang mungkin tidak jelas (Bloch 7 George L. Trager, 1942:35-36).
Menurut tempatnya jeda dapat dibedakan menjadi empat (cf. Samsuri, 1970:15-16) dan biasanya ditandai sbb :
a. Jeda antar suku kata dalam kata ditandai dengan [+]
b Jeda antar kata dalam frasa ditandai dengan [ / ]
c. Jeda frasa dalam klausa ditandai dengan [//]
d. Jeda antar kalimat dalam wacana ditandai dengan [ # ].



















Resume Dasar- Dasar Filsafat

Manusia pada umumnya telah mengenal filsafat secara tidak langsung sejak manusia itu lahir, akan tetapi mereka tidak menyadarinya. Banyak simbol- simbol yang secara tidak sadar telah dikenalkan pada manusia itu dari dalam kehidupannya mulai dari kehidupannya di keluarga sampai kehidupannya di masyarakat. Simbol- simbol tersebut dikenalkan baik melalui perbuatan maupun secara lisan. Perkenalan simbol itu ada yang melalui budaya. Hal ini terjadi karena manusia tidak dapat hidup tanpa budaya. Banyak orang berpikir bahwa budaya adalah identik dengan kesenian. Pemikiran yang seperti itu kurang tepat karena budaya sendiri mencakup seluruh aspek kehidupan dari manusia. Simbol- simbol terbagi menjadi dua yaitu simbol-simbol yang terdiri dari materi yang modern dan simbol- simbol non materi. Simbol- simbol modern itu antara lain adalah :
1. Rumah mewah
2. Komputer canggih
3. Handphone canggih
Simbol diatas merupakan suatu contoh simbol yang berbentuk materi dan itu akan selelu ada yang baru dari waktu ke waktu. Simbol- simbol yang non materi antara lain adalah:
1. Gelar
2. Pangkat
3. Jabatan
Akibat terjadi perubahan dari simbol- simbol lama ke simbol- simbol baru atau modern, maka akibatnya masyarakat sekarang menjadi kacau, karena simbol- simbol lama terdapat nilai- nilai moral yang sangat luhur. Untuk memperkenalkan adanya simbol- simbol lama maka diperlukan adanya pendidikan, karena pendidikan adalah sarana untuk memperkenalkan antara simbol lama dengan simbol yang baru. Simbol- simbol Jawa yang sampai sekarang masih dipegang adalah adanya kekuasaan dan harta.



Fisafat Proses
Orang- orang barat banyak yang menganut filsafat matrealisme mekanistik. Filsafat tersebut menghasilkan kaum- kaum kapitalisme di kaum Barat yang condong ke penjajahan. Mengapa mereka menciptakan pemikiran seperti itu? Karena mereka takut bersaing dan ingin menguasai semuanya. Bukti bahwa konsep yang mereka ciptakan gagal adalah adanya perang dunia. Mereka menguasai orang yang menjadi konsumen dan dari itu mereka membentuk trust yaitu kumpulan perusahaan sejenis yang menjadi satu yang bertujuan untuk menguasai pasar.
- Tahun 1923 Hommr Dubs menerjemahkan buku filsafat dari Cina Xun Zi.
- Tahun 1929 White hett menulis buku tentang filsafat proses. Judul bukunya adalah Proses enrealistic yang berarti proses adalah relitas dan realitas adalah proses. Proses di alam semesta tidak dapat berdiri sendiri. Proses organik ialah proses yang tidak pernah berhenti. Hidup itu adalah pilihan- pilihan. Proses dalam kehidupan ditentukan oleh pilihan- pilihan. Banyak orang yang berhasil karena mereka telah memilih jalan mereka yang tepat. Sebaliknya, banyak oramg yang gagal karena mereka telah memilih jalannya sendiri yang kurang tepat.



Konsep hexagram di Cina
6. ___________________
5. ___________________
4. ___________________
3. ___________________
2. ___________________
1. ___________________

Keterangan :
1. Naga tidur dibawah tanah ( tidak berguna)
2. Naga muncul diatas sawah menemui orang besar. Naga mempunyai kemampuan sehingga ditemui orang besar ( berkemampuan).
3. Naga mendapatkan kepercayaan dan dia bekerja keras.
4. Naga mendapatkan kepercayaan lebih besar dan kedudukan naik.
5. Garis pimpinan ( pilihan Tuhan)
- Tuhan mendengar seperti rakyat mendengar
- Tuhan melihat seperti rakyat melihat
- Tunah memilih seperti rakyat memilih
Kalau terpilih harus berhati- hati dan tidak boleh terlalu lama ( jabatan tidak boleh terlalu lama dipegang oleh seseorang)
6. Kalau kekuasaan dipegang melampaui batas( melampaui jumlah tingkatan hexagram), pasti akan jatuh.







Sistematika Filsafat

1. Metafisika
a. Ontologi ( Tentang yang ada)
Contoh : Tuhan itu ada
Kaum matrealisme mengatakan Tuhan itu tidak ada.
Matrealisme→1. Matrealisme Mekanik→menghasilkan Kapitalisme Liberal
2. Matrealisme Dialiktik→menghasilkan Sosialis Komunis
b. Anthropologi ( Tentang manusia)
c. Kosmologi ( Tentang alam)
3 unsur kosmik :
1) Ketuhanan
2) Kemanusiaan
3) Alam Semesta
d. Theologi ( Tentang Ketuhanan)
e. Psikologi ( Tentang Kejiwaan )
2. Epistemologi (Filsafat ilmu pengetahuan )
Objeknya tentang dasar kebenaran pemikiran manusia.
3. Metodologi
Objeknya tentang metode- metode pemikiran atau berbagai metode berpikir.
4. Logika
Membahas kebenaran berpikir formal atau berhubungan dengan nalar atas pikiran manusia.
5. Etika
membahas tentang moralitas, tata cara berbuat dan tingkah laku manusia.
6. Estetika
Membahas ukuran keindahan dan nilainya bagi manusia.
7. Sejarah Filsafat ( Sejarah Pemikiran)
Membahas perkembangan pemikiran manusia dari zaman ke zaman dan hubungannya dengan perubahan dalam masyarakat dunia.
Powered By Blogger