KAJIAN STRUKTURAL KARYA PROSA JAWA
SERAT TATACARA KARYA KI PADMOSUSASTRA
Diajukan untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Telaah Prosa Jawa
Dosen Pengampu : Prasetyo Adi W.W. S.S. M.Hum
Bangun Juliadi C0109003
Guntur Yuli Triasmoro C0109018
Ikhsan Mahendra C0109021
M. Rendrawan Setya N C0109024
Rendra Agusta C0109033
Wahyu Sigit Prasetyo I C0109043
Rogatianus Yogo P C0109045
SASTRA DAERAH
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
Pendahuluan
1. Latar belakang
Era kapujanggan zaman Surakarta telah melahirkan tokoh-tokoh yang mempunyai karya yang luar biasa. Seperti Yasadipura I, Yasadipura II, Ranggasutrasna dan yang paling terkenal adalah R.Ng Ranggawarsita. Sesudah itu maka Kraton Surakarta juga mengalami perubahan yang sangat signifikan dalam karya sastra. Salah satunya adalah seorang murid Ranggawarsita bernama Ki Padmosusastra ( 1843 – 1926 ) . Ki Padmasusastra dikenal populer di tengah masyarakat Jawa karena sesantinya yang berbunyi Wong mardika kang marsudi kasusastran Jawa ing Surakarta ‘Orang merdeka yang memelihara kesusasteraan Jawa di Surakarta’. Tulisan-tulisan tentang ketatabahasaannya, seperti Piwulang Nulis, Carakan Basa, Tata Sastra, Layang Paramabasa (1897), Zemenspraken (1900), Serat Carakabasa (1904), Layang Carakan (1911), Serat Pathibasa (1912), Warna Sastra (1920), dan lain-lain. Kamus-kamusnya yang terkenal adalah Serat Dasanama Kawi, Serat Campurbawur (1893) (merupakan embrio dari Bauwarna (1898), Layang Bauwarna (1898), Layang Bausastra (1899), Serat Warnabasa (1899), Serat Bausastra Jawa-Kawi (1903). Tulisan-tulisan kebahasaan yang lain seperti, Kawruh Basa, Layang Basa Sala (1891), Serat Urapsari (1895), Layang Belletire (1898), Madubasa (1912) , Warnasari (1925) dan masih banyak artikel-artikel yang ditulis dalam kalawarti yang diterbitkannya. Tulisan-tulisannya yang berkaitan dengan bahasa sangat mewarnai terbitan-terbitan ulang karya orang lain seperti Serat Pustakaraja Purwa, karya Ranggawarsita yang diterbitkan oleh N. V. Voork H. Buning (1910); Wira Iswara, Serat Wedhamadya keduanya dari penerbit sama, yaitu N. V. Voork H. Buning; Serat Wira Iswara, karya Pakubuwana IX yang diterbitkan Albert Rusche & Co. dan lain-lain.
Salah satu karya beliau adalah serat Tatacara. Serat Tatacara digarap dan dirampungkan selama sebelas tahun (1893-1904). Serat Tatacara berisi tentang uraian tentang budaya, adat-istiadat, upacara tradisi (sejak seorang ibu mengandung, melahirkan, khitan, nikah, sampai kematian), permainan, dan kesenian orang Jawa yang dikemas dalam bentuk cerita. Aplikasi dari cerita itu digambarkan dalam siklus kehidupan manusia mulai dari dalam kandungan, lahir, menikah, sampai meninggal dunia. Buku ini telah diterbitkan oleh Commissie voor de Volkslectuur Jakarta. Buku ini dikutip oleh J. Kats dimasukkan dalam buku "Warna Sari" sebagai bacaan di sekolah para calon guru pada tahun 1929.
Buku itu memiliki prolog kesedihan dan kepasrahan atas realitas dan pengetahuan Jawa: “Dengan perasaan takjub ini seakan-akan dunia sudah dipenuhi oleh pengetahuan, padat, tidak ada tempat yang tersisa. Berpikir sudah menjadi pekerjaan berat, seakan-akan sedang menyibak kabut tebal yang menutupi permukaan bumi, dan saya merasa terdesak keluar seakan-akan tak ada lagi tempat untuk saya.”
Perasaan itu lumrah muncul karena dalam jagat sastra dan pengetahuan Jawa telah dieksplorasi dan diwartakan oleh pujangga-pujangga ampuh masa lalu. Ki Padmasusastra mafhum bahwa deretan panjang khazanah literatur Jawa menjadi bukti sifat kapujanggan yang mengakar dalam kebudayaan Jawa. Ironi dari teks-tek itu adalah ketidaksanggupan orang-orang Jawa untuk memetik hikmah dengan kritis dan implikatif.
Ki Padmasusastra dengan gamblang memberi kritik bahwa ketidaksanggupan atau ketidakmauan itu karena orang-orang Jawa tidak memiliki cara untuk membaca, memahami, dan merealisasikan. Orang-orang Jawa sekadar khusuk dalam kekaguman atas khazanah Jawa. Ki Padmasusastra mengungkapkan bahwa hikmah khazanah literatur Jawa itu malah “dipetik dan disebarkan lagi oleh sarjana-sarjana Eropa, pengetahuan ini tumbuh lagi dengan lebih subur, mengisi dunia.” Fakta ini membuat Ki Padmasusastra sadar atas konstruksi Jawa yang dengan terbuka bisa dilakukan oleh sarjana-sarjana Eropa sebagai tandingan atas pemahaman orang-orang Jawa terhadap Jawa sebagai kultur dan pengetahuan.
2. Rumusan masalah
Dari Serat Tatacara maka dapat ditarik permasalahan yakni bagaimana Unsur Instrinsik Serat Tatacara ?
3. Tujuan penulisan
Tujuan dari penulisan penelitian ini adalah mengetahui Unsur Instrinsik Serat Tatacara.
4. Landasan Teori
Teori Struktural
Satu konsep dasar yang menjadi ciri khas teori struktural adalah adanya anggapan bahwa di dalam dirinya sendiri karya merupakan suatu struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai suatu kesatuan yang bulat dengan unsur- unsur pembangunnya yang saling berjalinan (Rachmat Djoko Pradopo dkk, 1985:6). Oleh karena itu, untuk memahami maknanya, karya sastra harus dikaji berdasarkan strukturnya sendiri, lepas dari latar belakang sejarah, lepas dari diri dan niat pengarang, dan lepas pula dari efeknya pada pembaca. Jadi yang terpenting hanya close reading, pembacaan secara mikroskopi dari karya sebagai ciptaan bahasa (Teeuw, 1984:13)
a) Tema
Tema merupakan gagasan yang mendasari karya sastra. Tema kadang-kadang didukung oleh pelukisan latar, tersirat di dalam, atau dalam penokohan. Tema sebuah karya sastra adalah pokok masalah yang hendak dibahas oleh pengarang.
b) Alur
Alur merupakan cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Terdapat beberapa tahapan dalam alur. Menurut Mochtar Lubis secara sederhana dan kronologis, alur dalam sebuah cerita terdiri dari lima bagian, yaitu : Situation (pengarang mulai melukiskan keadaan), Generation circumstances (peristiwa yang bersangkut paut mulai bergerak), Rising action (keadaan mulai bergerak), Climax (peistiwa-peristiwa mencapai klimaks), Denoument (pengarang memberikan pemecahan soal dari semua peristiwa).
c) Penokohan
Penokohan merupakan suatu proses penampilan tokoh sebagai pembawa peran watak tokoh dalam cerita. Kehadiran tokoh yang berkepribadian dalam karya sangat penting, karena tokoh-tokoh ini merupakan sarana bagi pengarang untuk menjalin peristiwa yang disajikan serta mengarahkan jalannya suatu peristiwa. Tokoh dapat juga berfungsi sebagai pembentuk alur cerita selain itu, tokoh dapat pula digunakan sebagai sarana menyampaikan ide pengarang. Dalam cerita, kadang-kadang seorang tokoh menggugah simpati, kadang pula menimbulkan antipati bagi pembaca.
Sifat dan karakteristik tokoh dapat dikategorikan ke dalam tiga dimensional, yaitu :
a. Dimensi fisiologis, yaitu ciri-ciri lahir. Misalnya usia (tingkat kedewasaan), jenis kelamin, keadaan tubuh, ciri-ciri muka, dan ciri-ciri badani lainya.
b. Dimensi sosiologis, yaitu ciri-ciri kehidupan masyarakat, tingkat pendidikan, kehidupan pribadi, pandangan hidup, agama kepercayaan, ideologi, aktivitas sosial, hobi, bangsa, suku, keturunan.
c. Dimensi psikologi, yaitu latar belakang kejiwaan, misalnya mentalitas, ukuran moral (membedakan antara yang baik dengan yang tidak baik, antara yang salah dan yang benar, antara yang indah dan tidak indah), temperamen, keinginan dan perasaan pribadi, sikap dan perilaku (Sudiro Satoto, 1996 : 44-45).
d) Latar
Latar atau setting merupakan tempat terjadinya peristiwa-peristiwa atau waktu berlangsungnya tindakan. Jadi, peristiwa-peristiwa itu terjadi dalam latar tempat dan latar waktu.
a. Latar Tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
b. Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah "kapan" terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah cerita.
c. Latar Sosial
Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang dibicarakan dalam karya fiksi. la dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan Iain-lain yang tergolong latar spiritual.
e) Amanat
Amanat berarti pesan. Pesan yang disampaikan pengarang mungkin jelas, tersurat (ekplisit) tetapi mungkin juga tidak jelas, samar-samar tersirat. Tidak jarang pengarang menyampaikannya secara simbolik dan teknik-teknik lain yang sulit diketahui pembacanya.
Pembahasan
I. Sinopsis
1. Meteng
Dialog : Nyai Ajeng dan raden nganten
Berbicara tentang orang hamil, nyidham, jamu untuk orang hamil dan pantangan orang hamil.
2. Singgah-singgah
Dialog : Nyai ajeng dan raden nganten
Berbicara tentang tembang untuk menjauhkan dari malapetaka berupatembang pangkur. Juga berbicara tentang perbandingan orang hamil pertama dengan kehamilan berikutnya.
3. Wilujengan meteng
Dialog : Raden nganten, Tangkilan
Berbicara tentang tata upacara selametan untuk orang hamil mulai bulan pertama sampai bulan ke sembilan berikut dengan rinciannya.
4. Tingkeban
Berbicara tentang kehamilan tujuh bulan, upacara, dan perlengkapan upacara.
5. Sajen
Berbicara tentang sesajian dan perlengkapannya.
6. Ingon
Berbicara tentang menumakanan yang dihidangkan untuk niyaga dan dhalang.
7. Nyakiti dumugi manak, Adan, Komat
Dialog : Tangkilan, R Nganten, sasak, gembur, Nyai ajeng,bendhung,mas Ayu,Sandilata, ladreg, Reksa karya, Riwug, Karya Boga
Berbicara tentang keadaan sebelum melahirkan sampai kelahiran si bayi dengan tata caranya.
8. Sarap-sawan
Berbicara tentang jenis lelembut yang mengganggu bayi dan sedulur papat lima pancer.
9. Kidungan
Berbicara tentang tembang untuk menolak bala agar terhindar dari malapetaka yang berupa tembang dhandhanggula.
10. Pujian
Dialog : Mbok sandilata, dan raden nganten
Berbicara tentang penguburan ari- ari bayi dan pujian yang mengiringinya.
11. Bayi puput kapangku
Dialog : nyai ajeng, jaka karya, sasak, tangkilan, karya boga
Berbicara tentang adat memangku bayi agar terhindar dari sawan yang dilakukan oleh tetua keluarga dilanjutkan pemberian nama kepada bayi.
12. Ulem jagong gadhah anak
Dialog ; tangkilan, sastra ubaya, sasak, bendhung.
Berbicara tentang pembuatan ulem dalam acara jagongan bayi.
13. Manggihi tamu dhateng
Dialog ; tangkilan, tamu
Berbicara tentang etika menyambut tamu.
14. Bibaran jagong sapeken
Dialog:nyai ajeng, karyaboga,sasak,mas ayu
Berbicra tentang upacara selamatan setelah perayaan kelahiran bayi.
15. Bayi umur selapan
Dialog:raden nganten,nyai ajeng,karyaboga,riwug,tangkilan,sedhet
Berbicara tentang upacara selamatan saat bayi berumur selapan hari atau 35 hari berikut perlengkapannya.
16. Mudhun lemah
Dialog:paribayungan,tangkilan,raden nganten,karya boga,sedhet,mas ayu,nyai ajeng,jaya nimpuna
Berbicara tentang upacara tedhak siti dan perlengkapannya.
17. Nyatauni
Dialog:raden nganten,karyaboga
Berbicara tentang upacara selamatan untuk bayi berumur satu tahun dan perlengkapannya.
18. Nyapih
Dialog:raden nganten,nyai ajeng,jagakarsa,mas ayu,karya boga
Berbicara tentang tata cara “menyapih” atau bayi tidak diberi ASI lagi berikut dengan ramuan untuk hal tersebut.
19. Tumbuk 33 taun
Dialog:raden nganten,tangkilan
Berbicara tentang kelahiran adik radeb ngabei suwarna yang diberi nama rara suwarni
20. Rembagan tumbas betah
Dialog:raden nganten,karya boga,
Berbicara tentang pembelian barang-barang pemenuh kebutuhan pokok
21. Rembagan tumbas sinjang
Dialog:raden nganten,jaka karsa
Berbicara tentang pembelian kain jarik.
22. Ulem tumbukan
Dialog:tangkilan,sastra ubaya
Berbicara tentang pembuatan serat ulem untuk acara ulang taung yang ke 33
23. Metang wragad
Dialog:tangkilan,jaya nimpuna
Berbicara tentang perhitungan dana untuk pembiayaan acara perayaan ulang taun ke 33
24. Tumbas wowohan
Dialog:karya boga,taru pala
Berbicara tentang tawar-menawar pembelian sayuran dan buah-buahan
25. Tumbas ulam maesa
Dialog:karya boga,banjarsari
Berbicara tentang tawar-menawar ikan dan daging sapi.
26. Tumbas kuwih-kuwih
Dialog:karya boga,seli
Berbicara tentang makanan ringan
27. Tumbas sayuran
Dialog:karya boga,roda mala
Berbicara tentang pembelian sayuran
28. Tumbas bumbu
Dialog:karya boga,daya rasa
Berbicara tentang pembelian bumbu makanan
29. Ngundang dhukun nyunati
Dialog:jaga karsa,waga prana
Berbicara tentang mengundang mantri khitan
30. Tumbas sinjang sekaran
Dialog:jaga karsa,karya puspa
Berbicara tentang tawar-menawar pembelian kain jarik bermotif bunga
31. Tumbas sinjang lurik
Dialog:jaga karsa,randha semaya
Berbicara tentang tawar-menawar pembelian kain jarik bermotif lurik
32. Tumbas sembagi
Dialog: jaga karya,sing siu
Berbicara tentang pembelian sembagi
33. Tumbas sinjang bathik
Dialog:jaga karsa,karya wastra
Berbicara tentang pembelian kain batik
34. Tumbas minuman
Dialog:tangkilan,boja prasita,C.van Bronkhost
Berbicara tentang pembelian minuman
35. Berah mbekta minuman
Dialog:jaya nimpuna,bau karya
Bercerita tentang buruh untuk membawa barang belanjaan
36. Tumbas gendhis teh
Dialog:jaya nimpuna,tyang sing
Berbicara tentang pembelian gula dan teh
37. Ngundang niyaga
Dialog:jaya nimpuna,mi ling
Berbicara tentang mengundang kelompok karawitan,sinden dan penari serta dalang.
38. Ngunjuk bikak kemah
Dialog:tangkilan dan tamu
Berbicara tentang etika menghidangkan minuman
39. Pradikaning minum
Dialog:tamu,praba kesa,sastra jendra,tangkilan
Berbicara tentang sanepan atau gambaran orang yang sedang mabuk
40. Lenggah dhahar
Dialog:tangkilan,tamu
Berbicara tentang etika menghidangkan makanan
41. Kondhisi
Dialog:tamu dan tangkilan
Berbicara tentang kondisi perayaan.
42. Tayuban
Dialog: tangkilan dan tamu
Berbicara tentang seni tayub
43. Sunatan
Dialog:raden nganten,jaka karya,jaga karsa
Berbicara tentang khitanan rara suwarni
44. Pasah
Dialog:tangkilan,raden nganten,jaga karsa,denta winangun
Berbicara tentang perhutungan waktu yang tepat untuk khitanan
45. Santri panaraga
Dialog:tangkilan,raden nganten
Berbicara tentang rencana mendaftarkan raden suwarna dan rara suwarni dipondok pesantren ponorogo.
46. Sukeran
Dialog:raden nganten,tangkilan,jaka karya
Berbicara tentang masa menstruasi pertama rara suwarni
47. Tetakan
Dialog: tangkilan,jaya nimpuna
Berbicara tentang khitanan raden bagus suwarna
48. Ulem tetakan
Dialog:tangkilan,sastra ubaya
Berbicara tentang pembuatan surat ulem untuk acara khitanan raden suwarna
49. Agem-ageman jagong
Berbicara tentang busana yang dipakai saat khitanan
50. Krobongan tetakan
Dialog:tangkilan dan baukarya
Berbicara tentang pembuatan tempat khusus untuk khitan
51. Ngemah-emahaken anak
Berbicara tentang tata cara dan perlengkapannya pernikahan anak
52. Manah jodhoning anak
Dialog:tangkilan,raden nganten
Berbicara tentang prediksi pasangan anak
53. Tangkilan kalihan congkok
Dialog:tangkilan dan madhang japlak
Berbicara tentang dialog antara keduanya membahas pengiriman utusan kepada calon pasangan sang anak
54. Demang malang kalihan bojonipun
Dialog:raden demang malang,mas ajeng
Berbicara tentang rencana pernikahan anak-anaknya.
55. Dalang malang kalihan congkok
Dialog:panakawan,demang malang,
Berbicara tentang percakapan kyai demang malang yang utusan dari tangkilan.
56. Ngaben sawung
Dialog:panakawan, mugen, botoh, mandangjaplak,
Bercerita tentang sabung ayam
57. Pangeran kalihan congkok
Dialog : pangeran dandungmertengsari, mandangjaplak,
Bercerita tentang rencana pernikahan putra pangeran dandung mertengsari dengan putra raden tangkilan yang diwakili oleh congkok mandangjaplak.
58. Tangkolan kalihan congkok
Dialog : tangkilan, mandang japlak, mugen, raden nganten.
Berisi tentang pembicaraan antara raden tangkilan dan dua utusannya.
59. Pangeran kalihan tangkilan
Dialog : tangkilan, suwarna, mandangjaplak, dandungmertengsari, panakawan.
Berisi tentang pembicaraan mengenai penitipan anak dari raden tangkilan untuk belajar.
60. Pangeran tangkilan suwarna
Dialog : pangeran gandhung ,suwarna
Berisi tentang jenis tari dan jenis tembang.
61. Tingalan dalem pawukon
Dialog : gandek, kanjeng raden adipati.
Berisi tentang mengangkat gandek menjadi tim doa kerajaan.
62. Tangilan dalem wiyosan
Dialog : raden adipati, sultan.
Berisi tentang etika menghadap raja.
63. Tingalan dalem panjenengan
Dialog : raden adipati, sultan.
Berisi tentang etika menghadap raja.
64. Kulawisudan pangeran putra
Dialog : raden mas surati
Bercerita tentang pengangkatan raden mas surati sebagai putra pangeran.
65. Kulawisudan pangeran santana
Dialog : raden adipati, raden mas lamun.
Mengangkat raden adipati menjadi pangeran sentana.
66. Kalawisudhan wadana kliwon santana
Dialog : raden adipati, raden mas salatun.
Berisi tentang pengangkatan raden mas salatun menjadi raden mas ngabehi yosodipuro sebagai wadana kliwon.
67. Kalawisudhan wadana kaliwon kawula
Dialog : raden adipati, raden ngabehi wongsonegara
Berisi tentang pengangkatan raden ngabehi wongsonegara menjadi wedana kliwon kawula.
68. Senen-kemis setu marang paresidhen
Berisi tentang pertemuan dikarisidenan.
69. Maringake nawala marang kanjeng raden adipati
Dialog : radeb adipati, pangeran.
Berisi tentang penyerahan surat kepad kanjeng raden adipati.
70. Nawala marang ngayogjakarta
Dialog : raden adipati danureja, raden adipati sasra diningrat.
Berisi penyerahan surat dari keraton surakarta ke keratin jogjakarta.
71. Nontoni
Dialog : demang malang, mugen, mas ajeng, tangkilan, raden nganten, sastra rupa.
Berisi pertemuan antara keluarga raden demang malang dan tangkilanyang membahas tentang pernikahan antara raden rara suwarni dan raden mas sarjana.
72. Serat panglamar
Dialog : mugen, sastra rupa, demang malang, tangkilan, raden nganten, satra ubaya.
Menceritakan tentang serat raden lamaran raden tangkilan diterima oleh demang malang.
73. Ningseti
Dialog : demang malang, mugen, tangkilan, talang karsa, mbok mas.
Menceritakan tentang pertunangan raden rara suwarni dengan raden mas suwarna.
74. Pangeran kalihan congkok
Dialog : dandung mertengsari, mandang japlak.
Pembicaraan pangeran dandung dengan utusan mengenai raden bagus suwarna.
75. Tangkilan kalihan congkok
Dialog : tangkilan, mandang japlak.
Membicarakan tentang rencana pernikahan raden ayu mulat.
76. Serat panglamar
Dialog : tangkilan, sastra ubaya.
Tentang pembuatan surat lamaran pada pangeran dandung untuk melamar raden ayu mulat.
77. Ulem gadhah damel mantu
Dialog : tangkilan, sastro ubaya.
Bercerita tentang pembuatan surat undangan pernikahan Raden Bagus suwarna dengan Raden Ajeng Mulat.
78. Tarub
Dialog : Tangkilan, Raden nganten
Bercerita percakapan tentang persyaratan dan perlengkapan orang yang ingin mengadakan hajat pernikahan
79. Lamaran
Dialog : demang malam, mas ajeng, tamu
Bercerita tentang lamaran demang malang kepada Tangkilan.
80. Nyantri
Dialog : tamu, punakawan, demang malang.
Bercerita tentang demang malang memilih masyarakat yang akan diajak iring-iringan pengantin.
81. Sanggan pengantin
Dialog : tangkilan dan raden nganten
Bercerita tentang barabg-barabg yang wajib disiapkan oleh pengantin putri.
82. Nikah
Berisi tentang pernikahan Raden Bagus Sarjana dengan Raden Rara Suwarni.
83. Kutbah
Dialog : penghulu.
Berisi tentang kutbah untuk pengantin.
84. Donga
Dialog : Penghulu dan pengantin
Berisi tentang doa.
85. Panggih
Dialog : penganten, raden nganten, para nyai.
Berisi tentang acara pernikahan waktu bertemu bertemunya pengantin.
86. Kondisi
Berisi tentang keadaan perayaan pernikahan.
87. Tiang ngajal
Dialog : Tangkilan, raden nganten, punakawan, amat semangi, ngulama, jaya lumaksa, jaya pakiringan, jaya puspita, reksa tani, nara karya
Berisi Raden sasak meninggal, kemudian penguburan dan perlengkapan tata upacara pemakamannya.
88. Ngijing
Dialog : tangkilan, jayapuspita
Bercerita tentang harga bahan- bahan kijing.
89. Mayit Islam
Dialog : tangkilan dan jayapuspita
Berisi tentang tata cara pemakaman cara Islam.
90. Ngedusi mayit
Berisi tentang doa- doa pemandian sang mayat dan cara memandikan sang mayat.
91. Ngulesi Mayit
Berisi tentang cara untuk memocong mayat.
92. Nyembahyangaken mayit
Berisi tentang tata cara menyolatkan mayat disertai dengan doa- doanya.
93. Mendhem Mayit
Berisi tentang tata cara dalam menguburkan mayat ke dalam liang kubur.
94. Talkin
Bercerita tentang doa-doa mentalkinkan sang mayat.
95. Wilujenganipun tiyang pejah
Berisi tentang hari- hari slametan untuk mendoakan orang yang sudah meninggal. Terdiri dari “ nelung dina, mitung dinani, matang puluh dinani, nyatusi, pendhak pisan, pendhak pindho, dan nyewu”.
Secara singkat serat Tatacara bercerita tentang Keluarga R.M.Ng Sasak, yang mempunyai menantu yang sedang hamil, bernama Raden Nganten istri dari putranya yang bernama R.M.Ng Tangkilan. Kemudian Raden Nganten mempunyai dua anak yang bernama R. Bagus Suwarna dan R. Rara Suwarni. Mulai dari kelahiran sampai masa remaja mereka melalui tahap demi tahap dengan berbagai macam tata cara.
Kemudian Raden Bagus Suwarna menikah dengan Raden ajeng Mulat, putri dari Pangeran Dhandhung Martengsari. Lalu Raden rara Suwarni menikah dengan Raden Bagus Sarjana Putra Demang malang. Mereka melewati masa gembira dengan perayaan pernikahan mereka mulai dari pengiriman utusan, tunangan sampai pernikahannya.
Bagian akhir dari Serat Tatacara bercerita tentang wafatnya R.M.Ng Sasak dengan berbagai tatacaranya.
II. Unsur Instrinsik Serat Tatacara
a) Tema
Tema merupakan gagasan yang mendasari karya sastra. Tema kadang-kadang didukung oleh pelukisan latar, tersirat di dalam, atau dalam penokohan. Tema sebuah karya sastra adalah pokok masalah yang hendak dibahas oleh pengarang. Serat Tatacara ini bertemakan tentang tata kehidupan manusia orang Jawa pada masa lampau / kuna. Hal ini tersirat dalam beberapa penjelasan di dalam serat tersebut. Selain itu juga tersurat dalam pembuka serat Tatacara sebagai berikut :
“ ... pakulinanipun tiyang Jawi sampun kathah ewahipun, tata cara kina kathah ingkang kabucal, ngangge tatacara enggal. Mila punapa ingkang kapratelakaken ing serat Tatacara punika ing Jaman Samangke inggih sampun kathah ingkang boten dipunlampahi” (STC hal 2)
b) Setting
Latar atau setting merupakan tempat terjadinya peristiwa-peristiwa atau waktu berlangsungnya tindakan. Jadi, peristiwa-peristiwa itu terjadi dalam latar tempat dan latar waktu. Dalam serat Tatacara dapat diketahui ada beberapa tempat , waktu dan suasana yang digunakan sebagai setting terjadinya ceita dalam serat tersebut.
1) Wulan Rabingulakir hal 12
“ enget kula dhek wulan Rabingulakir, sak niki wulan Ruwah.”
2) Gading, Pasar Kliwon hal 18
“ menyanga Gadhing banjur menyang pasar Kliwon “
3) Ngisor kemuning hal 24
“ gawea luwangan ngisor kemuning kulon jamban kae “
4) Jero Kraton hal 25
“ menyang jero Kraton wae “
5) Tanggal 7 wulan Rabingulakhir hal 49
“ siyos benijing tanggal ping 7 wulan Rabiulakhir “
6) Mengko sore hal 55
“ mengko sore rampungna banjur ladekna marang aku “
7) Slasa legi hal 67
“ dinten Slasa Legi dipuntimbali mrika “
8) Toko tuwan van bronkhorts hal 73
“ lama Sobat tidak datang ke toko “
9) Pukul 8 hal 79
“ pukul 8 tamu wiwit dateng dalidir “
10) Awan ( siang ) hal 93
“ kok nganti awan lagi teka?”
11) Pesantren panaraga hal 95
“ dak parakake menyang pesantren panaraga “
12) Rebo legi jam 6 enjing hal 100
“ benjing dinten Rebo Legi wau, wanci jam 6 enjing”
13) Kliwonan hal 101
“ jagong supitan dhateng kliwonan rumiyin “
14) Jam pukul 6 hal 103
“ ing wanci pukul 6 enjing , tamu wiwit dhateng sesarengan “
15) Ing pendapa hal 103
“ sakedhap ing pendapa sampun jibeg kebak tamu “
16) Ing dingklik patetakan hal 104
“ linggih wonten ing dingklik patetakan “
17) Ing griya hal 105
“ malebet dhateng ing griya “
18) Redi Merapi hal 111
“ ... klebet sukunipun redi Merapi”
19) Saben esuk saba teng sastrajendran hal 112
“Saben esuk saba teng sastrajendran, nyuwun berkah sinau kasusastran Jawa “
20) Dhek wingi sore aku weruh kowe hal 116
“Dhek wingi sore aku weruh kowe mangetan, menyang endi?”
21) Linggihan ing jaba bae hal 121
“ linggihan ing jaba bae Plak, kene isis “
22) Wonten ing plataran hal 122
“ omong-omongan wonten ing palataran “
23) Onten ing regol hal 123
“ semayan mawon jam 4 empuna onten ing Regol “
24) Saben Senen- Kemis wanci sonten hal 130
“ saben Senen – Kemis ing wanci sonten sowan dhateng Martengsaren"
25) Nagara ngayogjakarta hal 136
“ satekane Praja Dalem ana ing Nagara Ngayogyakarta”
26) Ing Surakarta hal 137
“ Kangjeng tuwan Residhen ing Surakarta “
27) Ing wayah sore hal 139
“... kudu merdhayoh mrana ing wayah sore “
28) Dinten anggara kasih , wanci setengah pitu hal 140
“ kacariyos sampun dumugi dinten anggara kasih , wanci setengah pitu”
29) Ing pandhapa hal 149
“ ingancaran lenggah ing pendhapa “
30) Ing griya sarta dhateng ing pandhapa hal 154
“dhateng ing griya sarta dhateng ing pandhapa”
31) Wanci jam sanga enjing hal 167
“wanci jam sanga enjing, tamu jaler estri wiwit dhateng “
32) Ing pandhapa hal 167
“tamu jaler njujug ing pendhapa”
33) Wayah Sonten hal 170
“ Sontenipun nyantri “
34) Wanci pukul pitu hal 170
“ wanci pukul pitu tamu ingkang badhe ngiringaken panganten sampun dhateng”
35) Wanci setengah wolu hal 171
“ wanci setengah wolu, panganten bidhal “
36) Ing pandhapa hal 171
“lajeng lampahipun malebet ing pandhapa”
37) Wanci jam sadasa hal 173
“ sareng wanci jam sadasa, dhawahe sangat : Jabarail ,slamet”
38) Pukul nem hal 179
“ sareng ndungkap pukul enem “
39) Wonten ing margi prapatan hal 190
“ nyebaraken saben wonten ing margi Prapatan “
40) Jam sepuluh hal 191
“ iki wis ngarepake jam sepuluh “
41) Pasareyan hal 193
“ pasareyane eyangmu becik pikiren eyup-eyupe”
c) Penokohan
Penokohan merupakan suatu proses penampilan tokoh sebagai pembawa peran watak tokoh dalam cerita. Kehadiran tokoh yang berkepribadian dalam karya sangat penting, karena tokoh-tokoh ini merupakan sarana bagi pengarang untuk menjalin peristiwa yang disajikan serta mengarahkan jalannya suatu peristiwa. Tokoh dapat juga berfungsi sebagai pembentuk alur cerita selain itu, tokoh dapat pula digunakan sebagai sarana menyampaikan ide pengarang. Dalam cerita, kadang-kadang seorang tokoh menggugah simpati, kadang pula menimbulkan antipati bagi pembaca. Dalam serat Tatacara terdapat beberapa tokoh antara lain :
1) Raden Nganten ( istri R.M Ngabei Tangkilan) hal 7
“ Raden Nganten : mbok menawi inggih bu “
2) Nyai Ajeng ( Ibu R.M Ngabei Tangkilan ) hal 7
“Nyai Ajeng :Nduk,kowe kuwi ayak’e wis ngandheg.”
3) Raden Mas ngabei Tangkilan hal 12
“tangkilan : olehmu ngendhut wis pirang sasi’e nduk?”
4) Gembur ( pembantu laki –laki ) hal 18
“gembur: kulo ”
5) Raden Ngabehi Sasak ( Bapak R.M Ngabei Tangkilan) hal 18
Raden ngabei sasak:sopo kowe?”
6) Raden Ngabei Bendhung ( Adik R.Ng Sasak ) hal 19
“bendhung: lho kowe bur awan-awan ........”
7) Mas Ayu ( Istri R.Ng Bendhung ) hal 19
“mas ayu: kulo”
8) Mbok Sandilata ( dukun Beranak ) hal 21
“mbok sandilata:ndi banyune mas”
9) Ladreg ( pembantu laki-laki ) hal 22
“reksa karya: kulo”
10) Gedrug ( pembantu laki-laki ) hal 23
“gedrug: nggih nigile”
11) Nyai Adipati sedhahmirah ( Nenek Perempuan ) hal 25
“sedhah mirah: menyang njero kraton bae”
12) Riwug ( pembantu perempuan) hal 25
“riwug: kula”
13) Mbok Karya Boga ( pembantu perempuan) hal 27
“karya boga: lenggah ana ngendi”
14) Mbok jaga karsa ( pembantu perempuan) hal 28
“jaga karsa: meniko”
15) Mbok jaga karya ( pembantu perempuan) hal 35
“jaga karya: kula”
16) Raden Bagus Suwarna ( anak laki-laki R.M.Ng Tangkilan ) hal 36
“anakmu diparingi jeneng raden bagus suwarno”
17) Sastra Ubaya ( pembantu carik ) hal 36
“Sastra ubaya: mugi kaparingan ngengreng”
18) Sedhet ( pembantu perempuan) hal 40
“sedhet: inggih punika”
19) Pari Bayungan ( pembantu urusan keuangan ) hal 42
“pari bayungan: nigilo”
20) Bekel Jethis ( kepala desa Jethis ) hal 43
“duit pasumbang saka bekel jethis“
21) Caplis ( cucu Mbok jaga karsa ) hal 53
“kala putu kula pun caplis rumiyin umur wolung taun”
22) Mbok Waronjene ( tetangga Mbok Wagaprana) hal 53
“anakipun tangga kula mbok waronjene”
23) Mbok Wagaprana ( teman Mbok Jaga karsa ) hal 54
“mampiro menyang omah’e bong wadon mbok wagaprana”
24) Taru Pala ( penjual buah-buahan) hal 59
“taru pala: niku napa kurang becik?”
25) Banjarsari ( penjual daging ) hal 63
“banjarsari:mank tuku seringgit mawon”
26) Seli ( penjual snack ) hal 64
“seli: molung wang”
27) Roda mala ( penjual sayuran ) hal 64
“roda mala: sing onten dhasaran niki nopo kirang sae?”
28) Dayarasa ( penjual bumbu makanan ) hal 65
“dayarasa: napa saka blonjo niku wau?”
29) Karya puspa ( penjual bunga ) hal 67
“karya puspa: ingkang sampean padosi sekaran menapa?”
30) Randha semaya ( penjual kain ) hal 68
“randha semaya: napa ajeng tumbas?”
31) Sing Siu ( penjual Sembagi ) hal 69
“sing siu: opo kowe alep tuku sembagi”
32) Karya Wastra ( penjual kain batik ) hal 71
“karya wastra: wonten sedaya”
33) Buja Prasita ( juru minum ) hal 72
“buja prasita: kula ”
34) C. Van Bronkhorst ( penjual minuman keras ) hal 73
“c.van bronkhorst: so..raden ngabei ”
35) Bau Karya ( pembantu laki-laki) hal 74
“bau karya: kula mas”
36) Tyang Sing ( penjual Teh ) hal 75
“tyang sing: iya,kiye ”
37) Miling ( ketua paguyuban karawitan ) hal 76
“miling: sinten”
38) Prabakesa ( tamu ) hal 80
“prakesa: ooo...kula solo mboten apil”
39) Sastra Jendra ( tamu ) hal 80
“sastra jendra: leres,nanging ragi panjang”
40) Nyai Eyang Menggung ( nenek R.ng mas Tangkilan) hal 88
“dados suwargi nyai eyang menggung”
41) Raden tumenggung Sujana Pura ( kakek R.ng mas Tangkilan) hal 89
“dadi bupati mancanegara nama raden tumenggung sujana pura”
42) Den Ayu Saralathi ( adik Raden Nganten ) hal 89
“jaganana den ayu Saralathi”
43) Mbok mas dhawuk ( pembantu perempuan) hal 90
“mbok mas dawuk,Putumu pondhongen menyang jamban”
44) Raden Lara Suwarni ( anak perempuan Raden Tangkilan) hal 91
“raden lara suwarni lajeng sampun didandosi”
45) Denta Winangun ( tukang nyupit ) hal 93
“denta winangun: inggih”
46) Jaya Nimpuna ( pembantu laki-laki) hal 98
“jaya nimpuna: kula”
47) Ki Ahmad Semangi ( Kyai di Ponpes Panaraga ) hal 103
“kaum kene ki ahmad semangi”
48) Mandhang Japlak ( congkok dari R.M.ng tangkilan ) hal 110
“mandhang japlak: nun inggih”
49) Kenthi-Wiri ( pembantu laki-laki) hal 110
“kenthi wiri: nun inggih”
50) Raden Demang Malang hal 113
“raden demang malang: ibune ”
51) Mas Ajeng demang malang ( Istri R.demang Malang) hal 113
“mas ajeng demang malang: wonten napa kanjeng?”
52) Mas Bei Dhelong (calon suami R.lara suwarni ) hal 115
“bebasane kalih mas bei dhelong”
53) Panakawan ( pembantu demang malang ) hal 116
“panakawan: punika ki mugeng sowan”
54) Ki Mugen ( congkok dari demang Malang ) hal 118
“ki mugen: engga mang tandhing”
55) Pangeran Dhadhung Marteng Sari hal 121
“Pangeran Dhadhung Marteng Sari: mandhang japlak ”
56) Raden Bagus Sarjana ( putra Pangeran Dhandung ) hal 125
“ingkang putra raden bagus sarjana”
57) Pangeran Arya Pringgalaya ( calon Putra mahkota) hal 134
“nama pangeran arya pringgalaya”
58) Raden Mas Bei Brotodipura ( wadana kliwon santana ) hal 135
“nama raden mas ngabei brotodipura”
59) Raden Ngabei Wangsa Negara (wadana kliwon kawula) hal 135
“abdi dalem raden ngabei wangsa negara”
60) Raden Adipati Danureja ( panggedhe Karaton Ngayogyakarta) hal 136
“raden adipati danureja: kula”
61) Kanjeng Sultan ( Raja karaton Ngayogyakarta) hal 136
“kangjeng sultan mangsuli pangandika”
62) Talang Karsa ( tamu R.M.Ng Tangkilan ) hal 149
“talang karsa: inggih”
63) Raden Ajeng Mulat ( putri Pangeran Dhandhung) hal 156
“nama raden ajeng mulat”
64) Kyai Pangulu ( penghulu pernikahan) hal 174
“kyai pangulu kula ngersaya ing ijengan ndika”
65) Jaya lumeksa ( pembantu laki-laki) hal 186
“kang jaya lumeksa semang ditimbali ndoro bei”
66) Reksan Tani ( pembantu laki-laki) hal 186
“marang si reksa tani”
67) Jaya Puspita ( tukang gali kubur ) hal 186
“jaya puspita:kula”
68) Jaya Pakiringan ( pembantu laki-laki) hal 187
“jaya pakiringan: nun kula”
69) Nara Karya ( pembantu laki-laki) hal 192
“nara karya: sampun”
d) Alur
Alur merupakan cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Terdapat beberapa tahapan dalam alur. Menurut Mochtar Lubis secara sederhana dan kronologis, alur dalam sebuah cerita terdiri dari lima bagian, yaitu : Situation (pengarang mulai melukiskan keadaan), Generation circumstances (peristiwa yang bersangkut paut mulai bergerak), Rising action (keadaan mulai bergerak), Climax (peistiwa-peristiwa mencapai klimaks), Denoument (pengarang memberikan pemecahan soal dari semua peristiwa).
Alur serat Tatacara tidak mengalami perubahan keadaan yang signifikan, karena dalam serat Tatacara ini setiap sub bab merupakan dialog – dialog singkat yang membahas sebuah tata kehidupan dalam masyarakat. Alur tema ini adalah datar. Seperti dalam adegan dibawah ini merupakan adegan sekali dan selesai.
“Raden adipati timbalan dalem”
“inggih sandika.”
Raden Adipati Sastradiningrat!”
“kula.”
“Pakenira tampa timbalan dalem , dhawuhing timbalan dalem, pakenira kapatedhan uninga, yen karsa dalem samangke putra dalem bandara Raden Mas Surati kakarsakaken nama bandara Pangeran Angabei. Pakenira Mupakatna saabdi- dalem ing Surakarta sadaya.”(STC halaman 134)
Alur cerita dalam STC merupakan alur maju karena adegan selalu bersambung ke adegan berikutnya.
“Wusana lajeng dipun tilar dhateng ing gedhong santun pangangge sayektos,....Dalunipun ringgitan purwa, mawi ulem- ulem tamu jaler estri, ningali ringgit, sambenipun kasukan kertu, lampahanipun lair-lairan, ingkang sae piyambak lairipun Gathutkaca. Mawi medal brayut: tiyang dusun sugih anak “ (STC halaman 17)
Pada bagian akhir STC sub bab mengenai Slametan Orang Meninggal, bab ini dibahas sampai tuntas dan tidak menyisakan pertanyaan. Sehingga STC termasuk dalam alur tertutup.
“...Para priyantun wonten ingkang nulad ngaturi dhahar kol. Manawi tiyang alit, boten, kajawi sudagar ingkang sugih- sugih. TAMAT” (STC halaman 201)
e) Sudut pandang pengarang (point of view)
Sudut pandang adalah cara memandang dan menghadirkan tokoh-tokoh cerita dengan menempatkan dirinya pada posisi tertentu. Dalam serat Tatacara pengarang menggunakan sudt pandang yang ketiga, yaitu pengarang berada diluar cerita. Maka soelah-olah pengarang merupakan yang mengetahui dan mengatur jalannya cerita. Hal ini terlihat dalam penggunaan kata-kata yang menceritakan keberadaan pengarang sebagai berikut :
Kacariyos raden nganten Tangkilan sareng anakipun raden bagus suwarno sampun dipun sapih, lajeng wawrat, ing mangsa gadhah lare medal estri, dipun sukani nama dateng embahipun mas ngabehi bendung : raden rara suwarni. Lampah-lampahipun mboten kacariyosaken amargi namung wor misah prasasat mboten wonten sanesipun. Sapunika ingkang kacariyosaken lare jaler istri kakang adhi dumalundhung mboten wonten sangsayanipun, kalis ing sakit, enggal ageng kados ingedusan ing toya gedhe, umur 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, taun, mboten kacariyos. Ingkang jaler samangke umur 12 taun, ingkang estri umur 10 taun. ( STC hal 48 )
f) Amanat
Amanat berarti pesan. Pesan yang disampaikan pengarang mungkin jelas, tersurat (ekplisit) tetapi mungkin juga tidak jelas, samar-samar tersirat. Tidak jarang pengarang menyampaikannya secara simbolik dan teknih-teknik lain yang sulit diketahui pembacanya.
Amanat serat Tatacara secara tersirat terdapat dalam sub bab masing-masing yang mengenai sifat pengarang dan kehiudupan yang ada di dalam serat Tatacara. Secara tersurat banyak sekali hal yang dapat diambil dari serat Tatacara ini, meliputi berbagai macam tatacara kehidupan mulai lahir sampai mati. Sebagai contoh adalah perilaku orang yang minum minuman keras akan berakibat buruk, jadi minum-minuman keras itu perbuatan tidak baik.
“ menggah ingkang mungel ing serat primbon pradikaning minum punika makaten :
1) Eka padmasari; eka : sawiji, padma : kembang; sari : sarining kembang; wong ngombe entuk sadhasar , kaya komi : kaya kumbang ngisep sari.
2) Dwi amartani; dwi : loro, amartani: andhap asor; wong minum antuk rong dhasar, saenggo gelem dikongkon, utawa diepak;
3) Tri kawula busana; tri : telu, kawula : batur, busana : panganggo; wong minum antuk telung dhasar, sanajan batur yen becik panganggone kudu jajar lungguh lan bendarane;
4) Catur wanara rukem; catur : papat, wanara : kethek, rukem: wowohan; wong minum antuk patang dhasar, kaya kethek mangan wowohan;
5) Panca sura panggah; panca : lima, sura : wani panggah : kasuguhan; wong minum antuk limang dhasar, sanajan wong kuru mengi amesthi ngumbar sanggup;
6) Sad guna weka; sad : nenem, guna : bangkit, weweka : pangawasaning ati; wong minum antuk nem dhasar, sanajan krungu wong maca utawa muji, pangrasane angrasani ala marang awake;
7) Sapta kukila warsa; sapta : pitu, kukila : manuk, warsa : udan; wong minum anthuk pitung dhasar, kaya manuk kodanan, awak ndharedheg, cangkeme kemruwuk;
8) Astha sacara-cara; astha : wolu, sacara-cara : sawiyah-wiyah; wong minum anthuk wolung dhasar, gampang metokake ujar sawiyah-wiyah;
9) Nawa grapa lapa; nawa : sanga, gra ( wagra ) : awak, lapa : lesu; wong minum anthuk sangang dhasar, wus sarwa lesu awake;
10) Dasa buta mati; dasa : sepuluh, buta : medeni, mati : mati temen; wong kang minum sepuluh dhasar, wus saengga mati, ewadene isih medeni, yen obah, kang ndeleng padha lumayu.”( STC hal 81 )
Penutup
a) Kesimpulan
Serat Tatacara adalah sebuah karya yang adiluhung , dimana di dalamnya berisi tentang tata kehidupan masyarakat Jawa yang sangat teratur. Secara filosofis mengandung nilai religius, etika dan budaya ketimuran yang sangat halus. Serat Tatacara berisi tentang uraian tentang budaya, adat-istiadat, upacara tradisi (sejak seorang ibu mengandung, melahirkan, khitan, nikah, sampai kematian), permainan, dan kesenian orang Jawa yang dikemas dalam bentuk cerita. Aplikasi dari cerita itu digambarkan dalam siklus kehidupan manusia mulai dari dalam kandungan, lahir, menikah, sampai meninggal dunia.
Dalam setiap sub bab mengenai siklus kehidupan masyarakat Jawa pada waktu itu merupakan hasil karya yang luar biasa. Sebagai generasi muda kita wajib melestarikan kebudayaan lokal yang relevansinya mempunyai dampak baik bagi kehidupan manusia dan membentuk karakter bangsa yang kuat dalam persaingan global.
b) Saran
1) Perlu adanya kajian lebih lanjut setiap sub bab dari serat Tatacara.
2) Perlu diadakan penelitian mengenai relevansi nilai – nilai yang terkandung dalam serat Tatacara, mengingat adat – istiadat budaya masyarakat Jawa sekarang sudah mengalami perubahan dalam berbagai aspek.
Daftar Pustaka
Rec. 176. Tatacara, Padmasusastra, 2602 (Tahun 1911).