Sabtu, 13 Februari 2010

MENRAWANG SEKSUALITAS SERAT CENTHINI

Bicara soal seks dan seksualitas, mungkin lebih mengenal Kama Sutra dari
India daripada Serat Centhini, karya sora Jawa kuno yang dirilis di awal
abad ke-19. Padahal "manual" versi lokal ini dipercaya jauh lebih lengkap
dan "menantang".

Tak ada yang bisa memungkiri, urusan seks selalu saja menarik. Entah dengan
bisik-bisik di antara kaum lelaki di warung kopi, atau di antara kaum
perempuan di sela-sela arisan ibu-ibu se-RT. Kadang juga dibicarakan secara
terbuka tapi terbatas, seperti di ruang seminar atau kesempatan formal
lainnya.

Seks dan seksualitas, dalam pengertian sempit maupun luas, merupakan bagian
penting dalam kehidupan manusia. Ia bagian dari naluri instingtif yang
paling dasar. Tak heran kalau banyak upaya dilakukan untuk mempelajari,
menganalisis, menyusun manual (panduan), atau mengungkapkannya lewat karya
sastra maupun karya tulis lainnya sejak dahulu kala.

Beberapa manual kuno yang pernah ada, bisa kita sebut misalnya Ars Amatoria
(The Art of Love) karya penyair Romawi, Publius Ovidius Naso (43 SM - 17 M).
Atau Kama Sutra karya Vatsyayana dari India, yang ditaksir hidup di zaman
Gupta (sekitar abad ke 1 - 6 M). Keduanya, bukan melihat seks sebagai subjek
penelitian medis dan ilmiah, melainkan sebagai sex manual.

Di akhir abad ke- 19 dan awal abad ke-20, neurolog dan pakar psikoanalisis
asal Austria, Sigmund Freud (1856 - 1939), mengembangkan sebuah teori
tentang seksualitas yang didasarkan pada studinya terhadap para kliennya.

Nun jauh di sana, di tanah JaWa pada awal abad ke-19 muncul pula sebuah
karya sastra yang terkenal hingga kini, yaitu Serat Centhini (nama resminya
Suluk Tembangraras). Serat ini digubah pada sekitar 1815 oleh tiga orang
pujangga istana Kraton Surakarta, yaitu Yasadipura 11, Ranggasutrasna, dan
R. Ng. Sastradipura (Haji Ahmad ilhar) atas perintah K.G.P.A.A.
Amengkunegara II atau Sinuhun Paku Buwana V.

Serat Centhini yang terdiri atas 722 tembang (lagu Jawa) itu antara lain
memang bicara soal seks dan seksualitas. Justru karena itulah serat ini
menjadi termasyhur, bahkan di kalangan para pakar dunia.

Seorang kontributor sebuah surat kabar Prancis, Elizabeth D. Inandiak,
misalnya, telah menerjemahkannya ke dalam bahasa Prancis dengan judul Les
Chants de l'ile a dormir debout le Livre de Centhini (2002).

Blak-blakan

* Meski kebudayaan Jawa di masa kejayaan keraton bersifat
represif-feodalistik, demikian tulis Otto Sukatno CR dalam Seks Para
Pangeran: Tradisi dan Ritualisasi Hedonisme Jawa (Bentang, 2002), dalam
bidang seksual ternyata sangat jauh dari apa yang kita bayangkan.

Masalah seksualitas muncul dalam ekspresi seni, terutama sastra dan tari.
Dalam Serat Centhini, misalnya, masalah seksual ternyata menjadi tema
sentral yang diungkap secara verbal dan terbuka, tanpa tedeng aling-aling.
"Ini sangat berlawanan dengan etika sosial Jawa yang bersifat puritan dan
ortodoks," tulis Sukatno.

Masalah seksual dalam serat itu diungkapkan dalam berbagai versi dan kasus.
"Misalnya, menyangkut masalah pengertian, sifat, kedudukan dan fungsinya,
etika dan tata cara bermain seks, gaya persetubuhan, dan lain-lain," ungkap
Sukatno. Bahkan seks juga dibicarakan dalam kaitannya dengan penikmatan
hidup atau pelampiasan hasrat hedonisme (sebuah doktrin filsafat yang
menyatakan bahwa kenikmatan adalah kebaikan tertinggi atau satu-satunya
kebaikan dalam kehidupan).

Sukatno memberi contoh, dalam Centhini II (Pupuh Asmaradana) diuraikan
dengan gamblang soal "ulah asmara" yang berhubungan dengan lokasi genital
yang sensitif dalam kaitannya dengan permainan seks. Misalnya, cara membuka
atau mempercepat orgasme bagi perempuan, serta mencegah agar lelaki tidak
cepat ejakulasi.

Lalu dalam Centhini IV (Pupuh Balabak) diuraikan secara blak-blakan
bagaimana pratingkahing cumbana (gaya persetubuhan) serta sifat-sifat
perempuan dan bagaimana cara membangkitkan nafsu asmaranya.

Terungkap juga ternyata perempuan tidak selamanya bersikap lugu, pasif dalam
masalah seks sebagaimana stereotipe pandangan Jawa yang selama ini kita
terima. Mereka juga memiliki kebebasan yang sama dalam mengungkapkan
pengalaman seksualnya. Padahal mereka selalu digambarkan pasrah, nrima
kepada lelaki.

Hal itu tampak dalam Centhini V (Dhandhanggula). Di ruang belakang di rumah
pengantin perempuan pada malam menjelang hari H perkawinan antara Syekh
Amongraga dan Nike Tembangraras, para perempuan tua-muda sedang duduk-duduk
sambil ngobrol. Ada yang membicarakan pengalamannya dinikahi lelaki
berkali-kali, pengalaman malam pertama, serta masalah-masalah seksual
lainnya yang membuat mereka tertawa cekikikan.

Salah satu percakapan itu misalnya seperti ini, "Nyai Tengah menjawab sambil
bertanya, Benar dugaanku, Ni Daya, dia memang sangat kesulitan, napasnya
tersengal. Saya batuk saja, eh lepas Mak bul mudah sekali lepasnya. Tak
pernah kukuh di tempatnya. Susahnya sangat terasa, karena meski besar seakan
mati." Disambut dengan tawa cekikikan.

Tipe Perempuan

* Seperti diungkap oleh Franz Magnis Suseno dalam Etika Jawa, yang dikutip
Sukatno, adalah fakta bahwa hubungan seksual dalam masyarakat Jawa hanya
diizinkan dalam rangka perkawinan.

Masyarakat Jawa tidak mengenal masalah seksual sebagai wahana pelampiasan
nafsu hedonistik, penikmatan terhadap hidup. Namun, pada kenyataannya
tidaklah demikian. "Adanya sistem budaya katuranggan jelas merupakan
penyangkalan terhadap hal itu," ungkap Sukatno.

Dalam sejumlah karya sastra Jawa maupun karya tulis lainnya, seperti
primbon, soal katuranggan banyak diungkapkan, termasuk dalam Serat Centhini.
Dalam kaitannya dengan perempuan, katuranggan dapat diartikan sebagai watak,
sifat, atau tanda-tanda berdasarkan penampakan lahiriahnya.

Dalam budaya katuranggan, terdapat beberapa ciri perempuan yang menjadi
idealitas lelaki untuk dijadikan istri. Tipe-tipe perempuan demikian, di
antaranya disebut guntur madu, merica pecah, tasik madu, sri tumurun, puspa
megar, surya surup, menjangan ketawan, amurwa tarung, atau mutyara.

Sebagai gambaran, perempuan bertipe surya sumurup itu perempuan yang
memiliki dua lapis bibir yang berwarna merah jambu. Sorot matanya
kebiru-biruan. Ada sinom (rambut yang tumbuh di dahi) yang menggumpal. Kedua
alisnya nanggal sepisan (laksana bulan sabit). Perempuan seperti ini menjadi
idaman kaum lelaki karena memiliki kesetiaan tak diragukan lagi. Lebih dari
itu, ungkap Sukatno, ia tipe perempuan yang serasi dalam bermain asmara,
sehingga dapat mencapai derajat marlupa (orgasme) bersama-sama.

Ekspresi budaya katuranggan ini juga terungkap, misalnya dalam Kitab Primbon
Lumanakim Adammakna. Disebutkan, seperti Sukatno, ciri perempuan yang
menggairahkan secara seksual antara lain, bertubuh kecil, wajahnya merah
bersemu biru manis, rambut hitam panjang, sinom menggumpal. Atau, bertubuh
kecil, pandangan dan wajahnya nguwung (agak melengkung), kulit kuning
bersemu hijau, sinom menggumpal. Atau, bertubuh tinggi langsing, badan
mbambang (padat berisi), roman mukanya galak, dan rambutnya panjang. Masih
banyak lagi ciri perempuan menggairahkan lainnya.

Seperti diungkap Sukatno, tentu saja tidak semua tipe perempuan cocok dengan
tipe ideal seperti itu. Masih ada tipe-tipe lain yang merupakan tipe
campuran dari sebagian atau keseluruhan wacana keluruhan tiap-tiap tipenya.
Memang rumit dan kompleks, karena seks, tidak bisa dinilai hanya dari segi
penampilan lahiriahnya semata.

Jamu dan tatakarama

* Ritualisasi seksual juga diungkapkan dalam Serat Centhini, termasuk soal
tata krama dalam melakukan hubungan seksual antarsuami-istri.

Dalam berhubungan, misalnya, harus empan papan. Maksudnya, mengetahui
situasi, tempat, dan keadaan, tidak tergesa-gesa, dan juga merupakan
keinginan bersama.

Selain mendasarkan diri pada tata krama menurut budaya Jawa, tata krama ini
juga mendasarkan diri pada hadis Nabi Muhammad SAW. Misalnya, sebelum
melakukan hubungan seksual, seyogianya mandi terlebih dahulu. Setelah itu
berdandan dan memakai wewangian. Sebelum mulai, berdoa lebih dulu dengan
mengucapkan syahadat.

Masyarakat Jawa juga mengenal kalender seksual. "Ini berkaitan dengan
masalah rasa perempuan, yang berhubungan dengan organ genital seksualnya.
Satu asumsi bahwa setiap hari organ genital seksual yang sensitif pada
perempuan selalu berpindah tempat, sesuai dengan tinggi rendahnya Bulan --
ini berdasar pada kalender Jawa. Dengan mendasarkan pada kalender seksual,
pasangan dapat mencapai puncak kepuasan secara bersama-sama," tulis Sukatno.


Selain diungkap mengenai tata cara, etika, dan ritualisasi, dalam Serat
Centhini II (Pupuh Asamaradana) diulas pula bentuk-bentuk serta pose
hubungan seksual yang seharusnya dilakukan. Semua itu dimaksudkan agar
pasangan dapat mencapai kepuasan bersama-sama.

"Hubungan seksual tidak hanya sekadar pemuasan nafsu lelaki maupun
perempuan, tetapi juga sebagai bentuk ungkapan perasaan cinta kasih, proses
prokreasi, dan seks sekaligus sebagai wahana ibadah," ungkap Sukatno.

Dalam Serat Centhini IV (Pupuh Balabak) dijelaskan dengan gamblang posisi
berhubungan seksual sebagaimana ajaran Jawa. Dalam melakukan penetrasi,
misalnya, harus tetap pula melihat tipe perempuan pasangannya. Maka kemudian
ada gaya kadya galak sawer (patukannya laksana ular galak); lir ngaras
gandane sekar (seperti meraba baunya bunga); lir bremana ngisep sekar
(laksana kumbang mengisap madu); lir lumaksana pinggire jurang (ibarat
berada di tepi jurang); baita layar anjog rumambaka (seperti kapal layar
turun ke tengah laut) dan sebagainya.

Dalam masyarakat Jawa lalu dikenal pula berbagai resep jalu usada
(pengobatan seksual) agar lelaki jadi perkasa. Misalnya, untuk mencegah agar
air mani tidak encer sehingga dapat memperoleh keturunan, seperti dijumpai
dalam Serat Centhini VII (Pupuh Dhandhanggula). Resepnya berupa merica sunti
dan cabe wungkuk tujuh buah, garam lanang, arang kayu jati, gula aren
seperempat. Semua bahan itu dipipis hingga lembut di tengah halaman pada
saat siang hari. Sesudah itu dibentuk seperti kapsul.

Jamu berbentuk mirip kapsul itu ditelan sambil membaca mantra, "Sang dewa
senjata akas-akas, kurang bagaluwih akase, kurang baga akukuh, ora ana
patine.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger